Dengan tergesa-gesa, aku bergegas masuk setelah Bi Asnah, pembantuku,
membukakan pintu. Ketika baru menaiki anak tangga, terlihat Ibu di ruang tengah.
“Kata Ayahmu, kamu hari ini sampai sore di toko.” ujar Ibu. “Baru
jam 11 kok sudah pulang. Kamu sakit?” tanya Ibu.
“Pusing, Bu. Santi mau istirahat.” jawabku singkat dan kembali aku meniti anak tangga
menuju kamar. Setelah menutup pintu, bergegas kubuka tas
coklat muda dan mengeluarkan sepucuk surat bersampul putih yang tadi kuterima
dari Bagus lewat temannya. Segera kubuka amplop itu seraya merebahkan diri di
atas kasur yang empuk. Di atas lembaran kertas itu, terbaca olehku tulisan tangan yang amat kukenal.
Ujung Selatan Kota Santri, 27 November 2009; Bakda Isya
Sua Santi di
kediaman
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kumandang takbir menggema di seantero penjuru kala
kumulai menulis surat ini, dengan iringan rintik gerimis yang tak jua berhenti menyiram
bumi.
Santi sayang....
Delapan Idul Adha sudah kita jalani. Kupikir, keadaan ‘kan menjadi lebih baik. Tak henti aku selalu
berharap semoga semua akan berjalan sesuai harapan kita. Namun, kenyataan demi
kenyataan sepertinya semakin membuat harapan itu semakin sulit terwujud.
Aku menghela napas panjang. Sesaat adegan demi
adegan seminggu lalu, manakala Ayah dan Ibu kembali mengusir Bagus yang
berkunjung ke rumah, terpampang jelas di depanku.
Aku tak pernah tahu pasti, alasan sesungguhnya, mengapa
sampai kini orang tuamu tak jua bisa menerimaku. Karena aku hanya seorang guru wiyata bhakti dengan honor tak seberapa,
sehingga mereka takut kau akan menderita bila hidup denganku? Ah, betapa sangat sangat logis sekaligus teramat menyakitkan bagiku. Sebagaimana
yang kamu tahu, kupilih jalan ini karena kurasa panggilan jiwaku terjawab kala
bergelut dengan buku dan hiruk pikuk suasana kelas, lengkap dengan aneka
tingkah laku murid-muridku. Pernah kucoba tinggalkan dunia ini kala kurasa
jenuh menyergapku. Juga manakala egoku menyeruak untuk mencoba menekuni
pekerjaan lain yang kata orang lebih menjanjikan. Tapi, ah, aku tak bisa. Aku
terasing di belantara beton Jakarta, Semarang, Bekasi, dan beberapa kota besar
lainnya yang pernah kusinggahi. Aku kesepian di antara deru mesin-mesin pabrik
yang pernah beberapa waktu akrab denganku. Tatapan mata polos tak berdosa
murid-muridku seakan menghakimiku, serasa ajukan tanya padaku: Pak Guru, akan
kau kemanakan ilmumu? Bagaimana Pak Guru akan menjawab pertanyaan Tuhan nanti
tentang ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, sebagaimana yang Pak Guru
ajarkan?
Guru. Ya, itu cita-citamu sejak aku mengenalmu,
Gus. Katamu, profesi itu mulia karena tak pernah menghitung jumlah
murid-muridnya yang silih berganti meninggalkannya di ruang kelas, menuju dunia
mereka yang baru. Bahkan tak sedikit mereka yang akhirnya menggapai status
sosial dan penghasilan yang jauh melampauinya.
Kuakui, dunia ini tak sesuci bayanganku kala kuliah D2 dulu.
Tapi, bukankah menjadi orang baik atau orang jahat adalah pilihan hidup, dan
bukan takdir yang kita jalani dengan keterpaksaan? Kamu ingat, hari itu, kala kita berbincang dengan kedua orang tuamu tentang
aparat negara? Ayahmu meradang dengan amarah yang meluap-luap tentang abdi
negara yang korup dan kerapkali mempersulit pelayanan publik. Juga tentang guru
yang bertugas dengan seenak hati dan menurut beliau makan gaji buta, seakan-akan
akulah yang mesti dan paling bertanggung jawab atas semua itu. Beliau mungkin
pernah trauma karena menjumpai hal itu. Sangat manusiawi bagiku. Tapi,
setahuku, tak semua aparat negara bertindak seperti itu. Juga, tak semua guru
berperilaku tak terpuji seperti itu.
Kalau detik ini kembali kau ajukan pertanyaan, apakah aku
ingin menjadi pegawai negeri sipil, jawabanku masih sama seperti dulu: ingin. Kalau
kau pernah menjalani ritme kehidupan sebagai guru wiyata bhakti, kau akan tahu,
bagaimana besarnya kerinduan menyandang predikat PNS, memperoleh nomor induk
pegawai dan gaji dengan jumlah nol yang berderet panjang. Mungkin sama seperti
cita-cita ayahmu dulu untuk memiliki toko sendiri kala menjadi pelayan di pasar
induk. Tapi kita tak bisa mendikte Tuhan untuk menuruti
semua keinginan kita, bukan? Atau, ketika sekarang telah menjadi pengusaha
besar dengan cabang di mana-mana, ayahmu lupa (atau melupakan) bagaimana
rasanya dulu menjadi pelayan dan memulai segalanya dari titik nol?
Kalaupun Tuhan kelak memberiku anugerah itu, akan
sempurna rasanya bila saat itu, engkau yang mendampingku. Kau akan membawa anak
kita untuk ikut arisan Dharma Wanita, pertemuan PKK, dan aktivitas lainnya.
Aku tersenyum pilu. Kukerjapkan mata untuk
menghalau sebentuk perasaan yang menyergap tiba-tiba dan membuat mataku memanas
seketika.
Kalaupun saat itu kau tak lagi bisa mendampingiku, tak
usah kau risau akan keyakinanku. Keyakinan yang selalu kau ingatkan padaku,
bahkan kau tulis dengan bingkai indah kala ulang tahunku ke-28: kalau tak bisa mengurangi
PNS korup, minimal jangan menambah panjang daftarnya. Doakan aku agar selalu
mengingatnya. Kau mau ‘kan mendoakannya untukku?
Kugigit bibir bawahku untuk menahan pilu yang semakin
mendera. Kupejamkan mata kuat-kuat. Kala kubuka, terasa berkaca-kaca.
Sebagaimana manusia biasa lainnya, engkau tidaklah
sempurna. Tapi, bagiku, engkaulah yang kucari selama ini, yang kupikir pantas
mendapat kehormatan untuk menjadi calon ibu dari anak-anakku kelak. Mengasyikkan
sekali memperbincangkan konsep rumah tangga yang nanti akan kita jalani,
seperti yang selama ini telah kita bicarakan lewat surat, dan sesekali lewat
e-mail manakala aku punya uang untuk pergi ke warnet.
Namun, sekali lagi Allah tunjukkan bahwa IA-lah yang Maha
Menentukan dan kita hanya berhak merencanakan.
Orang tuamu lebih berhak atas kehidupanmu, dan bukannya aku, yang baru delapan
tahun mengenalmu. Tak pernah kuimpikan dalam hidupku kalau tulusnya cinta yang
kuberikan akan menempatkanmu dalam situasi dilematis. Tak akan kubiarkan cinta ini
merampasmu dari kehidupan orang-orang yang telah membesarkanmu, atau bahkan membuatmu
menjadi anak durhaka.
Terkadang aku iri melihat teman-temanku yang diterima
dengan tangan terbuka oleh keluarga baru mereka. Tak jarang pula kupertanyakan
keadilan Tuhan: apa sih susahnya bagi Tuhan yang Maha Berkehendak untuk membuat
hati bapak ibumu terbuka untukku? Tapi, ah, mestikah kekurangajaranku pada
Tuhan kubiarkan menguasai hatiku, sedangkan tak sedikit perintah-Nya yang
kutinggal dan larangan-Nya kulakukan? Tak kan kuhiasi sepanjang hidupku dengan
meratap dan menyesali nasib. Tak akan kusia-siakan anugerah umurku dengan kekonyolan
dan kebodohan. Tidak akan. Juga dengan cobaan yang teramat berat ini. Ia pasti
tahu kekuatan dan ketabahanku dalam menerima ujian-Nya. Satu yang kuyakini, Ia
pasti punya skenario tersendiri untukku. Ia pasti telah menyiapkan titik finis
yang terbaik untukku, nanti.
Tubuhku bergetar. Desakan itu begitu kuat
menyeruak. Kukatupkan bibir kuat-kuat, mencoba menahannya. Namun, semakin
kutahan, semakin kuat pula ia mendesak. Gumpalan itu bergerak cepat, menuju sudut
mataku untuk kemudian jatuh
susul-menyusul. Titik-titik bening itu membasahi kertas yang kupegang dan melarutkan
tinta hitam pada beberapa kata-katanya.
Kamu ingat, ini adalah Idul Adha kedelapan yang kita
lalui bersama. Mungkin sebuah kebetulan bila Allah mempertemukan kita persis
pada Idul Adha delapan tahun silam, kala kita sama-sama menjadi panitia qurban di
remaja masjid. Dan siapa sangka, pada Idul Adha pulalah kita mesti berpisah.
Jangan kau anggap aku egois dengan keputusan ini. Jangan
pula kau kira aku telah putus asa. Sebelum aku benar-benar putus asa, mungkin
inilah jalan terbaik bagi kita. Tembok kukuh nan angkuh yang menghadang di
depan kita sepertinya tak ’kan mampu kita lewati. Manakala tujuan yang ingin
kita capai serasa semakin jauh untuk digapai, dan jalan yang akan kita lewati
pun terasa semakin terjal tak berujung, akankah kita biarkan semuanya menjadi
sia-sia belaka? Kala cita-cita semakin sukar untuk kita rengkuh berdua, hal
yang mungkin paling logis hanyalah menempuhnya via jalan yang berbeda: berpisah
untuk jalan kita masing-masing.
Idul adha adalah idul qurban. Dan pada hari pengorbanan
inilah kita mesti mengorbankan cinta yang selama ini telah terpupuk subur
hingga berdaun, bertangkai, dan bercabang, serta yang pasti, berakar kokoh. Terlalu
mulia untuk menyamakannya dengan pengorbanan Nabi Ibrahim yang diperintahkan
untuk menyembelih Ismail kecil. Tetapi, atas nama cintalah kalau kemudian Nabi
Ibrahim menyembelih putra yang telah sekian lama dinantikannya itu. Cinta
Ibrahim pada Tuhannya. Bila Ibrahim melakukannya atas nama cinta, ijinkan aku
untuk meneladaninya. Atas nama cinta, gapailah cita-citamu. Tanpa aku.
Derai air mata itu semakin deras. Tak mampu
lagi kutahan.
Jangan galau dengan kehidupanku setelah ini. Meski berat, percayalah, tak akan kuambil tali atau minum racun serangga
untuk mengakhiri hidupku. Harapanku atas masa depan masih membuncah di dadaku.
Stoknya masih melimpah. Maafkan aku kalau aku akan berupaya untuk melupakanmu.
Aku tak yakin apa aku bisa. Tapi aku harus melakukannya, ‘kan? Kutulis
surat ini sembari menangis. Perih sekali rasanya. Tapi malam ini aku masih ingin
menangis. Mungkin dengan mengumandangkan takbir, kalau aku bisa. Aku ingin menangis
1x24 jam agar esok hari air mataku tak tersisa sehingga lusa aku bisa bersiap
menghadapi hidupku yang baru. Tanpa kamu.
Sedikit tabungan yang selama ini kukumpulkan, yang
kurencanakan untuk pernikahan kita, Insya Allah akan kugunakan untuk biaya
kuliah lagi. Meski agak terlambat, aku harus melakukannya. Bukan semata-mata
karena tuntutan profesi. Tapi, aku pun mesti bergerak dinamis. Juga agar anakku
kelak tak malu menulis tingkat pendidikan bapaknya di formulir pendaftaran
siswa baru.
Tetaplah memelihara semangat untuk menjadi istri salehah,
seperti yang kau cita-citakan selama ini. Siapapun jodoh yang Allah berikan
nanti untukmu, ia pasti yang terbaik. Selamat Hari Raya Idul Adha. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhoi dan mempermudah jalan kita semua untuk meraih cita-cita
dan cinta. Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yang pernah mencintaimu
Bagus Pratama
Tanganku mengepal kuat-kuat. Kertas-kertas itu
turut terlipat dan lusuh. Perih yang kurasa semakin menyayat dan membuat
kepalaku berat. Sesaat, kulihat Bagus tersenyum dan melambai padaku. Tapi, lambaian
tangannya semakin melemah. Sosok tubuhnya pun menjauh perlahan, semakin kabur
dan menyerupai siluet, sebelum akhirnya hilang dalam kegelapan. Untuk
selanjutnya, aku tak ingat apa-apa lagi.
&&&&&
Dipublikasikan di Agupena Jawa Tengah