Hari Minggu, 22 September 2019 yang lalu, misalnya; kala saya berkesempatan menghadiri acara "Mlaku-mlaku Bareng Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan" di komplek Pemkab Pekalongan. Dengan puluhan ribuan peserta, pihak-pihak yang terlibat dan dilibatkan tentu tidaklah sedikit dengan cakupan koordinasi yang tidak sederhana. Mulai dari sponsor dan pendukung acara sampai koordinasi paling ujung dalam mekanisme distribusi atau pos penjualan tiket.
Untuk acara selevel perkemahan Jambore Ranting tingkat kecamatan atau Kwartir Ranting Gerakan Pramuka saja, bendera start koordinasinya sudah dikibarkan sejak beberapa minggu sebelumnya. Apalagi level kegiatan tingkat kabupaten.
Maka, saat hadir di lokasi kegiatan pagi tadi, saya sangat menikmati proses demi prosesnya. Empat jempol mesti saya acungkan untuk Panitia, baik perencana maupun pelaksana, beserta seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.
Bahwa kadang ada hal-hal yang menjadi catatan khusus secara pribadi, kerapkali menjadi permakluman tersendiri bagi saya sebagai orang lapangan.
"Lho, kok bisa?"
Ya, karena, bagi saya, ada hal-hal nonteknis yang seringkali menjadi pemicu sekaligus pemacunya.
Tentang sampah, misalnya. Sudah menjadi catatan tersendiri bagi saya kala event akbar seperti itu, serakan sampah khususnya jenis plastik masih sering menjadi pemandangan rutin.
Sepele sih, sebetulnya. Misalnya sampah bekas pembungkus permen. Sangat kecil, 'kan? Bila ada 1.000 peserta dengan semuanya meninggalkan plastik pembungkusnya, maka ada 1.000 buah yang berserakan.
Seperti saya sampaikan di atas, itu adalah faktor nonteknis. Tepatnya, menurut saya: faktor kebiasaan alias soal mental. Dan akan semakin rumit bila diperparah dengan asumsi "Toh ada petugas sampahnya. Mereka 'kan dibayar". He...he...
Ya, ada memang petugasnya. Tapi label petugas sampah sepertinya kurang tepat. Menurut saya, yang lebih pas sebutannya adalah petugas bersih karena tugasnya adalah membersihkan.
"Lha lalu siapa petugas sampahnya?"
Siapa lagi kalau bukan saya. Yang masih membuang sampah tidak pada tempatnya. Dan melihat area serakan sampah yang begitu banyak, ternyata saya tidak sendirian ☺☺☺
"Ah tempat sampahnya jauh. Repot....."
He...he.... Kalau repot, alangkah baiknya kalau sampah plastik itu dikantongi saja. Bawa ke rumah. Insya Allah tidak menambah beban petugas sampah, eh, petugas kebersihannya 😀😀😀 Alhamdulillah, kebiasaan itu masih saya tradisikan sampai hari ini.
Sangat-sangat tak asyik rasanya bila di ruang kelas saya bicara sampai berbusa tentang doktrin kebersihan sebagian dari iman termasuk berorasi panjang lebar agar siswa membuang sampah pada tempatnya tapi saya sendiri masih mudah membuang sampah sembarangan, bahkan di depan siswa.
Mirip, misalnya, saat saya mengantar anak saya ke sekolah kemudian bertemu dengan lampu merah di pertigaan. Setelah tengok kanan-kiri, saya tetap melaju dengan indahnya. Kala anak bertanya mengapa saya melanggar lampu merah, saya bisa menjawabnya dengan "Sesekali ndak papa. Kita sedang terburu-buru. Nanti kamu terlambat. Lagian tidak ada polisi yang berjaga".
Seringan itu jawaban saya tanpa menyadari bom waktu yang sedang saya nyalakan ke anak saya: pertama, kita boleh melanggar aturan untuk kepentingan pribadi; kedua: kedua, takutlah kepada polisi saat mereka bertugas. Bila kemudian saya melakukannya secara kontinyu, yang lama-lama bisa menjadi sebuah kebenaran bagi anak saya, ia berpeluang mentradisikan hal itu dan kemudian mewariskannya kepada anak-anaknya kelak. Siapa yang sesungguhnya bersalah?
***
Di even jalan santai tersebut, saya memilih bertahan di tepi perempatan, tak jauh dari titik start. Ya, hanya untuk "menikmati" serakan sampah yang perlahan terlihat di jalan raya seiring pergeseran massa sesuai rute yang telah ditentukan. Tanpa saya sadari, ternyata di belakang, anak saya mengabadikan momen tersebut 😍
Saya masih termangu saat pandangan saya terbentur pada beberapa sosok yang semakin mendekat ke arah saya. Semakin dekat, semakin jelas terbaca tulisan di seragam mereka "Komunitas Sapu Lidi Pekalongan". Tulisan yang sama juga terbaca di kendaraan bermotornya. Aktifitasnya di luar dugaan saya: sikat habis sampah yang terlihat.
Perlahan senyum saya mengembang mengiringi gerak langkah mas-mas dan mbak-mbak serta bapak-bapak itu yang terus sigap memunguti sampah, dengan barisan terjaga tepat di belakang peserta yang mengular panjang.
Entah bagaimana sistem koordinasinya dengan Panitia, saya kurang tahu. Dan itu bukan hal yang vital bagi saya. Tapi selain meyakini bahwa koordinasi cantik itu pasti ada, menatap orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap beres-beres sampah seperti mereka, saya semakin yakin bahwa membiasakan perilaku membuang sampah pada tempatnya sejak dini agar menjadi karakter sekaligus terus menerus mengkampanyekannya melalui pesan lisan, tulisan, dan memberi sekaligus menjadi contoh bagi anak dan anak didik, bukanlah hal yang sia-sia.
Salam Literasi!
#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar