Kalimat itu menjadi pembuka pembicaraan kami, di suatu malam yang dingin menjelang tengah malam beberapa hari yang lalu di kawasan pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan, tepatnya di kios “Ketoprak Ambon” di tepi Jalan Raya Paninggaran-Banjarnegara, sekitar 100 meter sebelah Timur Kantor Kecamatan, tempat dia menjalani hari-harinya
Berteman kopi hitam dan alunan musik mesin kendaraan yang sesekali melintas, saya menikmati kisah hidupnya.
“Berat sekali hidup sepeninggal Bapak. Saya sendiri sempat kesulitan memutuskan apakah bertahan di rumah ataukah kembali merantau. Dan dengan banyak pertimbangan, terutama restu Ibu, akhirnya saya memilih menemani Ibu membesarkan adik di rumah. Saya mencoba merintis usaha dengan harapan bisa sedikit meringankan beban Ibu. Karena modal saya kecil, saya memulainya dengan berdagang ayam”.
“Awalnya sangat-sangat tidak mudah. Selain kadang masih merasa malu, saya juga mesti belajar banyak dari mereka yang sudah terjun lebih dulu,” jawabnya saat saya menanyakan apakah dia tidak minder menjalani hal baru itu. “Malu, iya. Minder, pasti. Gengsi? He...he..... Alhamdulillah kalau gengsi sih tidak. Dari awal, orang tua saya mendidik saya untuk membuang gengsi dari kamus kehidupan. Gengsi tidak bisa dimakan, kata Bapak dan Ibu. Yang penting halal. Kalau tentang omongan orang ya biarkan saja. Yang penting saya tidak merugikan orang lain. Dan saya juga tidak minta-minta kepada mereka”.
Saya meneguk kopi hitam beberapa kali. Manis gulanya tak pernah bisa menghilangkan pahit kopinya. Saya teringat dengan sebuah tulisan yang saya posting sekitar sebulan sebelum Ramadhan tahun ini: Sekali waktu cobalah kopi tanpa gula agar kau bisa bersyukur bahwa ada hal yang lebih pahit dari kisahmu.
Saya mendesah lirih. Ditinggal Bapak selama-lamanya di usia 20 tahun kurang tiga bulan lalu terjun bebas ke dunia kerja yang sangat asing bermodal nekad. Belum tentu saya bisa setangguh pemuda itu.
“Di awal 2018, saya mencoba melebarkan sayap dengan berdagang sayap yang lain”, lanjutnya. Melihat dahi saya mengkerut pertanda kurang paham, sembari tersenyum dia langsung melanjutkan, “Burung dara. Saya lihat prosepeknya cukup cerah karena penggemarnya lumayan banyak”.
“Desember 2018 menjadi tonggak sejarah baru. Saya tinggalkan bisnis unggas dan masuk ke bisnis kuliner dengan mengibarkan bendera Ketoprak Ambon. Dari gerobak yang setiap sore mesti saya persiapkan model bongkar pasang sampai akhirnya Alhamdulillah bisa mengontrak di sini, di tempat ini” ulasnya sembari tersenyum lebar.
Saya tak bisa menahan diri untuk tidak turut tersenyum. Teringat kala mengenal pemuda itu kali pertama pada 2014 di even perkemahan Gerakan Pramuka Kwartir Ranting Paninggaran Kabupaten Pekalongan. Saat itu dia menjadi Dewan Juri di bawah tim DKR Paninggaran dari unsur Dewan Kerja Ambalan (DKA) SMAN 1 Paninggaran. Dan sekarang dia menjadi pengurus harian DKR Paninggaran.
Nama lengkapnya Nurul Hidayat. Tapi lebih populer disapa Ambon. Saya malah belum sempat menanyakan sejarah lahirnya nama panggilan itu. Nama panggilan itulah yang disematkan pada bisnis kulinernya: Ketoprak Ambon.
Malam kian larut. Kopi hitam pun sudah surut. Saatnya saya mengistirahatkan mata yang sudah redup
Kala beranjak dari duduk, pandangan saya singgah di kertas yang tertempel di sudut kios: Anak Yatim Gratis Ketoprak. Masya Allah. Semoga berkah Allah senantiasa terlimpah untukmu, Sahabat..... Aaamiiin.
Paninggaran, 8 Juli 2019 22.47 WIB
* Berminat mencicipi Ketoprak Ambon? Silahkan meluncur ke tekape: https://goo.gl/maps/ovqzihZiHsS17gup7
Salam Luar Biasa!
#PaninggaranPedia
#Kuliner
#PengusahaMuda
#MenolakMenyerah
#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar