Awalnya, di kisaran tahun 2017, kerumunan siswa dan beberapa alumni di depan ruang kelas V selepas jam sekolah dengan hampir semuanya memegang HP saya kira sejenis kumpul-kumpul biasa. Tetapi, lama kelamaan akhirnya saya tahu bahwa magnet itu bernama wifi, yang membuat para remaja itu betah berjam-jam. Ternyata mereka anggota komunitas IPGSI alias Ikatan Pecinta Gratisan Seluruh Indonesia. He...he.....
Di ruang kelas V, yang bersebelahan dengan musholla mungil di ujung gedung, memang terpasang perangkat wifi untuk melayani ruang kelas yang agak jauh dari kantor.
Sesekali, saya berbaur dengan mereka. Mungkin karena segan, para alumni biasanya bergerak menjauh kala saya mendekat sementara para siswa tetap istiqomah.
“Asyik banget dari tadi. Mbuka’ apa sih?” tanya saya.
“Game, Pak”, mayoritas jawaban mereka.
“Boleh Pak Guru lihat HP-nya?” pinta saya kemudian. Dalam beberapa detik, HP sudah di tangan saya.
Saya jelajahi isinya. Ya, di dalamnya hampir dipenuhi dengan beragam game online. Berlanjut ke jejak akses Youtube, isinya beragam. Mulai dari Upin Ipin sampai lagu-lagu.
“Suka Youtub-an ya?”
“Iya, Pak?” jawab mereka.
“Kok sepertinya belum pernah membuka video-video pelajaran ya? Mengapa, ndak suka?”
Mereka saling tatap. Ada yang menggelengkan kepala, ada yang terdiam.
“Coba seperti ini”, lanjut saya, “Ketik misalnya BANGUN RUANG. Nah lihat daftarnya. Banyak sekali video pembelajaran tentang bangun ruang. Asyik lho ditonton. Bisa diulang-ulang. Insya Allah menjadi lebih mudah memahami pelajaran.”
Di sisi lain, sesungguhnya, ada hal lain yang perlahan-lahan menorehkan sebentuk keprihatinan mendalam. Yaitu: mereka, anak-anak itu, yang baru beranjak remaja dan menjelang masa puber, sangat mudah tersesat di rimba raya internet.
Proses komunikasi dengan orang tua, yang diawali dengan Diskusi Interaktif “Mengenali dan Menyikapi dengan Bijak Gejala Kecanduan Game, Internet, dan Pornografi pada Anak” bersamaan dengan penerimaan Buku Laporan Hasil Belajar (atau yang lebih populer disebut Buku Raport) 9 Juni 2018 silam (berita selengkapnya bisa dilihat DI SINI ), ternyata juga menyajikan fakta yang hampir sama dengan yang saya jumpai di beberapa wilayah lainnya dimana mayoritas orang tua merasa sangat kesulitan dan kerepotan dalam mengatur hobi yang satu ini.
Membatasi ruang gerak mereka mungkin hanya salah satu upaya. Dan dalam banyak hal, harus diakui, langkah ini seringkali kurang efektif karena memerlukan kontak langsung dengan mengandalkan pengawasan secara fisik sedangkan daya jelajah mereka sangatlah luas.
Maka, yang kemudian lebih memungkinkan dilakukan adalah mengedukasi atau mendidik mereka secara bertahap dan terus-menerus sembari memperkuat benteng ruhani mereka melalui pendidikan agama dan kegiatan keagamaan.
Keluhan sebagian besar orang tua yang awalnya bertindak sebagai investor HP, dalam arti yang membelikan, di kemudian hari tak lagi memiliki kedaulatan atas HP tersebut sehingga sekedar membuka saja kesulitan, perlu disikapi secara serius namun bijak agar tidak memicu konflik baru dengan anak.
Sehingga diharapkan nantinya anak bisa lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan HP-nya. Secara bersamaan, orang tua juga perlu memiliki kecakapan memadai terkait operasional HP Pintar alias smartphone untuk mengimbangi keterampilan anak agar pada saatnya dibutuhkan, orang tua bisa dengan mudah membaca data-data di HP tentang rekaman akses anak di dunia maya, jenis video apa saja yang ditonton, dan hal-hal teknis lainnya.
Salam Luar Biasa!
#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur
2 komentar:
Selama ini dalam bbrp x diskusi belum pernah menemukan cara membatasi penggunaan IT pada anak2 Alhamdulillah blog ini pencerahan bagi kami...siipp lah...
Alhamdulillah bila ada sedikit pencerahan dari tulisan ringan di atas. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkenan berkunjung
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar