Seperti pada hari Selasa, 8 Januari 2019 siang tadi. Karena saya akan membagikan file buku elektronik (e-book), video dan file musik yang akan dipergunakan untuk pembelajaran semester dua, saya memang mengumumkan sehari sebelumnya bahwa siswa diperbolehkan membawa HP.
Di kelas tersebut, dari 28 siswa, ada 6 siswa atau 21,43% yang belum memiliki HP, 7 siswa atau 25% menggunakan HP secara bersama-sama dengan keluarga/orang tua, sedangkan siswa yang memiliki HP sendiri berjumlah 15 anak atau 53,57%.
Selain membagikan file, yang selama ini selalu disambut dengan antusias oleh para siswa, momen tersebut selalu saya gunakan untuk melakukan pemeriksaan HP. Karenanya, sebelum kegiatan, ada seremoni rutin: pemilik HP maju satu persatu, membuka HP yang mayoritas terkunci, lalu bersama-sama saya eksplorasi isinya sampai ke histori alias rekaman beraktifitas internetnya.
Di tengah keasyikan itu, beberapa komentar muncul hampir serempak: “Pak Guru, si Anu punya video saru di HP-nya.....”
Dengan tidak merubah ekspresi saya yang tetap santai, saya panggil siswa yang dimaksud. Setelah HP-nya terbuka, saya jelajahi sesaat lalu bertanya video apakah yang dimaksud teman-temannya tadi. Dengan raut muka agak khawatir, siswa tadi menjawab bahwa bukan video saru, tapi video dangdut koplo, seraya menunjukkan videonya. Kala saya tanya untuk apa video tersebut didownload, dia menjawab bahwa yang mendownload bukan dia tetapi kakaknya karena terkadang HP digunakan bersama.
Saya lega. Sangat lega. Pertama karena yang saya khawatirkan tidak terjadi. Yang kedua: pemahaman sekaligus penyebutan sebagian besar anak-anak terhadap video dangdut yang penuh dengan goyangan erotis sebagai kategori saru atau tidak sopan, bagi saya, menjadi indikasi awal bahwa mereka sudah mulai bisa mengidentifikasi dan merasa malu bila diketahui oleh orang lain. Bagi saya, rasa itu perlu dirawat secara serius.
Saat anak-anak sudah semakin akrab dengan gadget, salah satu hal yang kemudian kami lakukan adalah mendampingi mereka dalam menggunakannya secara bijak. Bukan hanya dalam mengoperasikannya, tapi juga termasuk memberikan bimbingan secara berkala tentang etika bermedia sosial, seperti yang sudah beberapa kali kami lakukan untuk siswa kelas 6.
Tentu tak serta merta hal itu bisa mengurangi dampak negatifnya. Apalagi sebagian besar waktu mereka dihabiskan di luar sekolah dimana pergaulan dan lingkungan akan sangat mempengaruhi pola pikir, perilaku, dan “kecerdasan” mereka. Di sisi lain, bisa saja ada yang sudah menghapus file-file tertentu sebelum pemeriksaan.
Minimal anak-anak tahu bahwa orang tuanya di rumah dan gurunya di sekolah kompak dalam hal itu.
Karena, sebagaimana banyak hal negatif memapar anak-anak setiap waktu, setiap saat, di segala ruang dan dimensi waktu tanpa jeda, seperti itulah semestinya upaya-upaya kebaikan dilakukan dan digelorakan. Tanpa garis final.
Kawasan Pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan;
8 Januari 2019 22.40 WIB
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar