Beberapa waktu yang lalu, saat mengendarai sepeda motor menuju Batang melalui jalur Kajen-Talun Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, ban belakang bocor di jalan turunan area Talun. Meski sudah sering melewati jalur tersebut, saya masih gagap untuk mengingat posisi bengkel tambal ban di sekitar area tersebut.
Akhirnya, sepeda motor saya naiki superpelan sedangkan istri dan anak berjalan di depan.
Tak lama kemudian, dari arah depan, sebuah sepeda motor melaju naik dan berbelok tiba-tiba ke arah saya. Pengendaranya seorang pemuda seusia saya.
“Bocor, Pak?” tanya dia dengan ramah.
“Iya,” jawab saya. “Mohon maaf, bengkel tambal ban terdekat di sebelah mana ya?” sambung saya.
“Masih lurus sekitar 500m, pertigaan. Tak jauh dari kantor kecamatan” jawabnya. “Kalau ibu dan adik mbonceng saya gimana? Kasihan jalan kaki.” katanya lagi menawarkan bantuan.
Mendadak mata saya menajam. Entah kenapa, pandangan saya menjadi lebih detil menatap pemuda itu. Juga lengannya yang bertato. Sekejap saya menjadi ragu.
Saya tatap istri saya sesaat. Diam, tanpa sepatah kata pun. Pandangan matanya menyiratkan bahwa keputusan di tangan saya.
Dalam diam yang sama, sekejap saya ingat Allah. Astagfirullahal azim. Bahkan dalam posisi memerlukan bantuan pun, ternyata saya masih saja dikuasi buruk sangka. Dan itu semua hanya karena penampilan fisik calon penolong saya. Ah, ternyata bicara berbusa-busa tentang teori baik sangka terkadang sama sekali tak sama dengan mengamalkannya.
Dengan mengucap basmalah di hati, akhirnya saya mengiyakan penawaran pemuda itu. Istri dan anak saya membonceng pemuda itu sedangkan saya menaiki sepeda motor dengan sangat pelan.
Tak berapa lama, di depan saya, sepeda motor pemuda tersebut sudah terlihat di depan saya. Sambil melaju, dia berteriak, “Lurus saja, Pak!”
Saya berhenti dengan maksud menghentikan dia untuk sekedar berterima kasih dan menyampaikan permohonan maaf atas buruk sangka saya. Sayang, tikungan jalan segera menghalangi pandangan saya dan meninggalkan kepulan asap sepeda motor pemuda itu. Menyisakan saya dengan rasa bersalah.
Di bengkel, setelah selesai, saya menitipkan ucapan terima kasih untuk penolong saya kepada pemilik bengkel.
Peristiwa itu semakin menguatkan keyakinan saya bahwa kebaikan memang tak berjenis kelamin. Ia kadang bisa hadir sekonyong-konyong tanpa membutuhkan sekedar perkenalan nama, status sosial, apalagi pendukung calon presiden nomor berapa.
Kejadian di atas bukanlah kali pertama saya alami. Yang paling sering adalah diingatkan oleh pengendara lain bahwa standar samping motor saya belum terlipat saat motor telah melaju. Dan itu cukup dengan acungan jari diiringi suara klakson penarik perhatian. Tanpa kadang saya mengenal siapa mereka atau sebaliknya.
Dan sebagaimana virus, kebaikan pun juga mudah menyebar. Entah karena pernah menerima kebaikan atau spontan, terkadang juga saya melakukan hal yang sama untuk pengendara yang lupa belum melipat standar sampingnya.
Bahwa terkadang penawaran kebaikan sesekali belum bisa diterima seketika, seperti halnya pikiran awal saya terhadap pemuda yang menolong saya, pada akhirnya saya menganggap hal itu bisa terjadi pada siapapun. Termasuk pada saya.
(Bersambung)
#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar