Tak dipungkiri, raport masih menjadi makhluk yang dirindu sekaligus kadang tak diinginkan kehadirannya. Dirindu karena ia menjadi penanda datangnya musim liburan sekaligus menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian siswa. Mungkin juga bagi orang tuanya.
Bila isinya sesuai dengan harapan, tentu bahagia yang dirasakan. Sebaliknya, bila angka-angkanya jauh di bawah keinginan, apakah Bapak/Ibu juga bisa menerimanya sebagai pencapaian maksimal anak? Ataukah justru taburan kalimat yang pedas di telinga dan perih di hati yang kemudian Bapak/Ibu lontarkan?
Bila pilihan terakhir yang Bapak/Ibu ambil, semoga Bapak/Ibu tahu bahwa detik itu Bapak/Ibu telah menambah penderitaan anak. Bila sebelumnya ia mungkin dianggap kurang pandai atau bodoh oleh teman-temannya, atau bahkan oleh gurunya, Bapak/Ibu telah melengkapinya dengan anggapan yang kurang lebih sama.
“Nilai rendah = bodoh. Memang seperti itu, ‘kan?” mungkin kemudian itu pertanyaan Bapak/Ibu.
Jawaban saya: “Belum tentu”
Lihatlah kembali angka-angka di raport anak. Bila raport anak bentuknya tak sama seperti raport waktu Bapak/Ibu sekolah, jumlahnya sangat banyak, dan kalimatnya panjang-panjang, kemungkinan besar sekolah anak sudah menggunakan Kurikulum 2013. Tapi apapun itu, intinya masih sama.
Cermati isinya: apakah nilai anak rendah di semua mata pelajaran? Ataukah rendah di beberapa mata pelajaran namun lumayan di pelajaran lainnya?
Matematika, misalnya. Mungkin nilainya agak rendah. Tapi di pelajaran lain, seperti Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, atau Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti; bagaimana nilainya?
Cobalah ingat kembali saat Bapak/Ibu mendampingi anak dalam belajar. Pelajaran apa yang paling sering memicu pertengkaran dengan anak? Matematika? Kalau iya, mengapa?
Atau sebab lainnya seperti: disuruh mengerjakan PR Matematika, anak malah asyik menggambar benda-benda aneh, mewarnai, atau aktifitas sejenisnya?
Tulisan ini hendak mengajak Bapak/Ibu mencermati kembali hal-hal detil, mungkin terlihat sepele, tanpa bermaksud menggurui sedikitpun.
Secara umum, ada anak yang pandai Matematika, pintar Bahasa Indonesia, juga lincah menggambar, menyanyi, dan sebagainya.
Ada yang pandai Matematika namun kurang pandai Bahasa Indonesia, atau sebaliknya.
Ada yang sangat-sangat sulit disuruh belajar Matematika namun sangat hobi menggambar sehingga kalau ada PR Matematika lebih sering memicu perang dunia dengan orang tuanya.
Kira-kira anak Bapak/Ibu masuk kategori yang mana?
Masuk kategori yang manapun, jangan lupakan satu hal: setiap anak terlahir dengan karakteristik, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka, bijakkah menuntut anak pandai dalam segala pelajaran di sekolahnya? Dan adilkah menginginkan anak kita memiliki nilai raport yang sama dengan anak orang lain?
Membanding-bandingkan anak kita dengan orang lain, bukan hanya menyakiti anak, namun pada saat yang sama kita sedang mempertontonkan sebuah ketidakikhlasan.
Nilai raport diperoleh bukan dengan cuma-cuma. Apapun nilai yang saat ini tertera, itulah nilai terbaik yang bisa anak-anak raih saat ini setelah perjuangan panjang 6 bulan. Bila memang belum sesuai harapan, ini mungkin kesempatan emas untuk sama-sama mengevaluasi diri. Daripada menambah beban anak dengan selalu melabeli dia sebagai anak kurang pintar, akan lebih baik bila kita mendorongnya untuk lebih giat belajar di masa-masa yang akan datang.
Di sisi lain, mari bersama-sama menengok kembali apa yang sudah kita lakukan untuk mereka. Sudahkah kita benar-benar hadir saat mereka membutuhkan bimbingan kita? Benarkah kita tahu proses perjuangan dan susah payahnya anak kita belajar selama satu semester atau enam bulan sebelumnya? Saat kita mendampingi mereka belajar, sudahkah kita benar-benar tulus melakukannya dan bukan sambil memegang remote TV atau smartphone di salah satu tangan kita?
Pada saat yang sama, sebagai orang tua, sudahkah kita benar-benar tahu seperti apa lingkungan sekolahnya dan bagaimana teman-temannya? Seberapa pemahaman kita tentang situasi sekolah, juga guru-gurunya, yang menjadi orang tua keduanya setiap hari sekitar 6 jam? Tak inginkah kita tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan anak kita, misalnya saat nilai ulangan hariannya rendah, dengan mencoba berkomunikasi dengan gurunya minimal via HP/WA?
Guru memang orang tua keduanya di sekolah. Dan sekolahan semestinya menjadi rumah keduanya. Tetapi, jangan lupa bahwa guru juga manusia. Ia bisa saja salah. Ia, seperti juga kita, bisa lelah dan khilaf. Ia juga bukan sosok sakral yang antikritik. Bila guru tahu bahwa orang tua siswa selalu peduli dengan anak-anaknya, senantiasa memantau perkembangan dan segala yang terjadi dengan anak-anaknya, Insya Allah guru akan lebih bersemangat sekaligus lebih berhati-hati dalam menunaikan tugas mulianya.
Selamat berlibur akhir semester satu dan sampai berjumpa di semester dua pada 2 Januari 2019. Semoga Allah yang Maha Pemurah senantiasa melindungi kita, dan anak-anak kita. Aaamiiin.
* Dikonsep di meja kerja setelah Rapat Persiapan Penerimaan Raport SDN 01 Tenogo, 14 Desember 2018
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar