“Kok cuma dua?” tanya saya.
“Iya, “ jawabnya. “Asyar dan Magrib. Yang Dzuhur lupa, yang Isya ketiduran, yang Subuh lupa juga”. sambungnya tertawa lepas sambil memamerkan barisan gigi yang tak rapi. Tentu saya tersenyum mendengarnya.
“Saya empat, Pak Guru, karena tadi tidak subuhan. Saya kesiangan” seru siswa yang tubuhnya paling besar. Saya menjawabnya dengan acungan jempol sembari turun dari sepeda motor dan meraih uluran banyak tangan-tangan mungil itu.
Sudut mata saya menangkap sosok yang tidak ikut berebut berjabat tangan. Sepertinya dia menunggu teman-temannya selesai.
Dan ternyata dugaan saya benar.
Sembari mencium tangan saya, dia berujar singkat: “Saya sholatnya satu, Pak Guru”.
Saya tersenyum, “He...he...... Dari kemarin sepertinya satu terus ya? Belum nambah lagi?” tanya saya seraya mengelus-elus rambutnya. Hanya gelengan kepala, tanpa jawaban. Seperti biasa.
Kelas yang lebih tinggi, lima dan enam, tak seheboh itu. Apalagi bila kebetulan jam pelajaran pas siang, kala cacing perut sudah mulai menyanyikan lagu-lagu dangdut koplo. Tapi tetap saja laporan pelaksanaan sholat lima waktu yang memang saya wajibkan pada setiap tatap muka selalu menjadi momen paling heboh dan tak jarang diiringi ucapan spontan saling memuji plus kadang koor serempak “Huuuuuuuuu.............”.
*****
Tak banyak yang saya impikan dengan kebiasaan yang ingin saya tradisikan di sekolah saya tersebut. Hanya agar calon-calon pemimpin masa depan itu sudah akrab, karib, dan bersahabat dengan masjid/musholla di sekitar tempat tinggalnya, sejak usia dini.
Selebihnya, saya hanya berharap dan berdoa semoga para orang tua/wali murid tak terlalu menganggap rengekan anak-anaknya (yang sebagian masih sangat unyu-unyu) yang meminta ikut sholat berjamaah di masjid atau mushola adalah sebuah raungan bising yang membosankan.
*****
Ingatan saya terbang jauh ke pertengahan 2017 silam, saat melepas putri saya, Wafda Sabila, ke asrama SMPIT Permata Hati Banjarnegara. Detik-detik terakhir ketika saya dan uminya mesti meninggalkan dia di dunianya yang baru. Di teras Masjid Abu Bakar di kompleks sekolah, saya mengucapkan kalimat perpisahan seraya merengkuhnya erat ke dalam dekapan: “Bila kau rindukan kami, tunggulah azan berkumandang dari masjid ini. Bergegaslah mendatanginya. Insya Allah kami melakukan hal yang sama di Masjid Baitul Abror di depan rumah kita. Kita duduk, bersimpuh, dan berdoa di waktu yang sama, lima kali sehari, untuk harapan yang sama meski jarak memisahkan. Semoga Allah selalu menjaga hati kita dan kelak mempertemukan kita bersama di tempatNya yang mulia. Amin.”
Bakda Jumatan, 26 Januari 2018
*Untuk siapapun dan di manapun yang senantiasa berjuang memakmurkan rumahNya.
Semoga istiqomah serta selalu dalam keridhoaan dan perlindungan Allah SWT. Amin.
Salam Luar Biasa!
Dzakiron
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar