Saya mau cerita.....
Dulu waktu SD/MI, pernahkah diikutkan lomba-lomba
oleh Bapak/Ibu Gurunya? Kalau pernah, masih ingatkan rasanya ketika ditawari atau
bahkan ditunjuk untuk pertama kalinya? Saya sendiri sudah tak ingat persis rasa saat
itu. Tapi ketika kini gilirannya saya harus memilih/menawari murid-murid saya
untuk lomba, melihat beragam reaksi anak-anak imut-imut itu, mungkin itulah
yang dulu saya rasakan.
Salah satunya yang sengaja saya share
percakapannya, menjelang Lomba Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Seni
Islami (MAPSI) tingkat kecamatan untuk cabang lomba Cipta Cerita Islami, 14
Oktober 2017 silam.
Dialog pada H-2 tersebut kurang lebih begini: (M=
Murid, S=Saya)
M: Pak Guru, lombanya saya tidak bisa. Jangan
saya, ya?
S: Tidak apa-apa. Ini sekalian latihan karena
lombanya tiap tahun. Sekalian untuk persiapan tahun depan. Pak Guru tidak
menargetkan apa-apa. Tidak menang juga tidak apa-apa.
M: Itu nanti dihafalkan dan ditulis, ya?
S:
Kalau bisa ya seperti itu. Dibaca saja terus, lebih baik lagi kalau setengah
hafal. Hari ini dan besok tidak belajar lainnya tidak apa-apa. Besok Jum’at
Insya Allah yang ikut lomba akan dikumpulkan untuk diberi penjelasan untuk
persiapan lombanya. *****
Ada memang yang langsung pede menerima tawaran.
Namun, sebagian, mirip seperti itu. Ada yang sudah oke, sudah ikutan latihan
berhari-hari, namun apa daya, beberapa hari menjelang hari H ternyata
mengundurkan diri dengan beberapa alasan, mayoritas karena merasa tak siap.
Itulah anak-anak.
Tugas guru, salah satunya, adalah membangkitkan
rasa percaya diri. Plus merayu tentunya. Dan alhamdulillah, seperti percakapan
kami, saya berhasil. Si anak akhirnya sukses ikut lomba. Hasilnya? Seperti yang
saya sampaikan ke siswa, saya tak menargetkan juara. Ini lebih kepada
pengkaderan alias pembibitan, yang seringkali hasilnya tak langsung nampak. Tentu
butuh lebih dari sekedar kesabaran berlimpah.
Dalam beberapa hal, kadang rayuan dan upaya
apapun sama sekali tak manjur. Kala siswa sudah mogok dan mengibarkan bendera
putih, itulah pertanda saya harus memilih: mencari calon peserta lainnya dengan
resiko waktu lomba yang sudah mefet, atau tidak ikut cabang lomba tesebut.
*Lantas: tak pentingkah target menang?
Target menang adalah sesuatu yang penting, sama
pentingnya dengan mempersiapkan mental untuk kalah. Bagi saya, memperkenalkan
siswa kepada atmosfer kompetisi, dimana peluang kalah dan menang adalah sama
besar alias fifty-fifty atau 50%-50%, adalah hal yang penting. Bukan hanya
karena kelak seumur hidupnya mereka akan berhadapan dengan kompetisi dalam
hidup dan kehidupannya, namun juga untuk belajar menerima kekalahan sebagai hal
yang lumrah, wajar, dan biasa. Bahwa kekalahan bukanlah aib yang pantas untuk
diratapi saat ihtiar terbaik telah dilakukan. Bahwa mempersiapkan mental untuk
kalah juga penting agar terhindarkan dari rendah diri, putus asa , bahkan
frustasi.
*Ikut lomba tapi siap-siap untuk kalah? Kok bisa?
Iya, itulah yang sering saya sampaikan ke
siswa. Kalah saja siap, apalagi menang? Karena, menurut saya: banyak orang yang
ikut kompetisi dengan mental siap menang namun tak siap kalah. Imbasnya, kala
menang, ia akan jumawa, besar kepala, tinggi hati, dan sejenisnya. Sebaliknya:
bila kalah, ia akan terpuruk dalam rasa bersalah, terjebak dalam kubangan
kecewa berkepanjangan, dan bahkan menganggapnya sebagai sebuah kemalangan.
Simpulan sederhananya: bila ihtiar terbaik
telah diupayakan, kalah dan menang adalah sebuah hal yang lumrah dalam
kompetisi apapun. Sehingga, mirip seperti banyak tulisan yang bertebaran
menjelang Pilkada: menang ora umuk, kalah ora ngamuk; menang tidak sombong,
kalah tidak meradang. Dan bagi saya, menerima kekalahan maupun kemenangan, dari
sebuah kompetisi sehat, rasanya sama-sama terhormat.
Sahabat, tetaplah memelihara semangat berkompetisi:
semangat melakukan & memberikan yang terbaik, semangat mengalahkan segala
rintangan, dan semangat mengalahkan rasa kalah sebelum pertempuran serta semangat menerima kalah-menang sebagai sebuah konsekuensi logis. Yakinlah: tiada
perjuangan yang sia-sia. Karena sesungguhnya, pertempuran terhebat dan terbesar
bukanlah dengan lawan manapun, namun dengan diri kita sendiri.
Salam Luar Biasa!
Wassalamu’alaikum
Pagi di Ujung Selatan Pegunungan Kabupaten
Pekalongan;
18
Oktober 2017, 04.48 WIB.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar