Dulu, batang singkong ini saya jadikan sebagai penguat bagi tanaman
cabai di polibag depan rumah. Ternyata, sebagian besar cabainya tak
bertahan hidup. Dan alhamdulillah, singkongnya justru terus bertahan lebih
lama. Teori tanam-menanam yang saya tahu, batang singkong yang ditanam sebagai
tegakan (agak tinggi sekitar 1 m), hanya bisa dipetik daunnya. Dan subhanallah,
Allah memberi lebih dari yang saya duga: panen singkong dengan ukuran terbesar
selama saya menanam di lahan sempit depan rumah.
(Fotonya saya publikasikan
di Facebook tanggal 15 Februari 2017 dan sempat saya jadikan foto profil. Selengkapnya bisa dilihat DI SINI).
Setelah sempat terfikir untuk mengganti keseluruhan dengan bunga
warna-warni, karena sayang dengan bibit singkong yang saya pikir luar biasa
itu, akhirnya bibit singkongnya saya tanam kembali. Dan subhanallah, dalam
beberap bulan, tumbuhnya luar biasa. Sangat-sangat subur. Foto tersebut saya
ambil tanggal 6 Mei 2017 pukul 13.34 WIB ber-background Masjid Baitul Abror
yang sedang berbenah menjelang Ramadhan 1438 H (terlihat kalau pintu dan
jendela belum terpasang). Sudah tak terhitung lagi daun segarnya menjadi sayur
yang menemani waktu-waktu makan keluarga kami.
Bakda Idul Fitri, setelah berhari-hari menu makan tak jauh dari
daging dan gerombolannya, godaan daun singkong yang ranum, montok, dan bahenol
itu tak lagi bisa kami tahan. Dan hari ini, Minggu, 2 Juli 2017, tepat di hari
ke-8 Idul Fitri, kami berencana untuk memindahkannya ke mangkuk sayuran untuk
menu makan siang. Karena itulah acara silaturahmi di kediaman Bapak dan Ibu
sejak pagi kami cukupkan sekitar pukul 09.00 dan segera meluncur pulang.
Tak lama setelah tiba di rumah, sekitar pukul 09.19 WIB, terdengar
ucapan salam. Seorang wanita berdiri di depan rumah kami untuk menanyakan rumah
seseorang pemilik kebun singkong tak jauh dari rumah kami. Beliau ternyata dari
sebuah dukuh di tetangga desa, sekitar 3 km-an, yang berniat membeli daun
singkong dalam jumlah yang besar untuk keperluan memasak bagi para tetangga
yang mengaji di pagi hari untuk anggota keluarga yang meninggal. Kata Beliau
kurang lebih: bakda Idul Fitri lebih afdhol memasak dengan daun singkong.
Sayangnya, sebagaimana yang saya tahu, kebun yang menghampar di
sisi Selatan Masjid Baitul Abror tak satupun pemiliknya tetangga saya. Kalau
ada, meski sebagian besar masih mudik, tentu bisa saya bantu menghubungi.
Alhasil, Beliau sudah beranjak hendak pulang dan kembali dengan tangan hampa
sebelum akhirnya pandangannya tertuju ke pohon singkong depan rumah kami.
“Wah itu hijau-hijau sekali, Bu, daun singkongnya. Milik Ibu?,” tanya
Si Ibu.
“Iya, Bu, alhamdulillah ” jawab istri saya.
“Hmmmmm....... saya bayar, ya?” sambung Si Ibu.
“Ndak usah, Bu. Cuma sedikit, kok. Kalau Ibu mau, daripada pulang
dengan tangan kosong, silahkan...” lanjut istri saya.
“Bener, Bu. Kalau mau, silahkan. Tapi ya seperti yang Ibu lihat
sendiri, jumlahnya tidak terlalu banyak” sambung saya.
“Ah saya jadi ndak enak. Siapa tahu akan dimasak sendiri.” kata Si
Ibu ragu.
“Ndak papa, Bu. Itu juga sudah sering dimasak. Setelah dipetik,
Insya Allah tak lama lagi juga sudah bisa kami petik lagi. Silahkan, jangan
sungkan-sungkan. Meski tak banyak, mungkin bisa bermanfaat.”
Akhirnya, daun singkong itu pun berpindah tangan.
Siang itu kami batal makan siang dengan menu tersebut. Tapi kami sangat
bahagia karena daun singkong itu menunaikan tugasnya di tempat lain yang
kelihatannya lebih besar dan lebih bermanfaat dari sekedar menjadi santapan
makan siang kami.
Ya, karena kami percaya tak ada yang terjadi secara kebetulan.
Siapa yang menggerakkan hati Si Ibu itu untuk mengetuk pintu rumah kami pagi
ini, dan bukan rumah orang lain? Siapa pula yang menggerakkan hati kami untuk
bergegas pulang pagi itu sehingga akhirnya membukakan pintu untuk Si Ibu
tersebut? Dan siapa pula yang menumbuhkan daun-daun singkong itu sedemikian
subur serta menahan kami untuk tidak memetiknya selama Ramadhan serta beberapa
hari setelah Idul Fitri dan ternyata kelak akan menjadi rejeki Si Ibu?
Subhanallah. Allahu Akbar!
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang
ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Al An’am [6]: 59).
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang
(sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan
menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang
ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d
[13]: 2).
#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur
2 Juli 2017 16.48 WIB
Salam Luar Biasa!
Dzakiron
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar