“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari SAUDARANYA, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih” (QS. Al-Baqarah: 178).
Jika dalam kasus pembunuhan saja Allah masih menyebut hubungan persaudaraan antara si pembunuh dengan ahli waris yang terbunuh, lalu bagaimana pula jika perselisihan di antara mereka jauh lebih ringan daripada kasus pembunuhan? Apalagi permasalahan di antara mereka hanya berbeda pendapat atau berbeda sudut pandang dalam masalah khilaafiyyah ijtihaadiyyah? Apakah karena itu dibenarkan baginya untuk tidak menganggap seorang muslim yang berbeda pendapat dengannya sebagai saudara?
Saudaraku, perselisihan yang terjadi di kalangan ahlussunnah dari masa ke masa, dari yang ringan berupa adu argumen sampai yang berat sekalipun yang menyebabkan pertumpahan darah, tidaklah serta-merta menyebabkan lepasnya label persaudaraan di antara mereka.
Bukankah engkau masih ingat dengan firman Allah,
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min BERPERANG maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan berbuat ANIAYA terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah BERSAUDARA, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujuraat: 9-10).
Perhatikanlah, situasinya PERANG (qitaalun) dan ANIAYA (baghyun), namun statusnya tetap SAUDARA (ikhwah). Tentunya untuk situasi perselisihan yang lebih ringan dari itu, tidak merubah statusnya sebagai SAUDARA.
Ketika sesama kaum muslimin berselisih, seharusnya perselisihan tersebut dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman,
“Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” (Qs. An-Nisaa’: 59).
Kalau kita siap mengembalikan perselisihan antara sesama kita kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita harus siap meyakini dan menerima dengan lapang dada bahwa orang yang berselisih dengan kita tersebut adalah SAUDARA kita.
Semoga kita tidak menjadi seperti yang difirmankan Allah,
“Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitaab dan ingkar kepada sebagian yang lain?” (QS. Al-Baqarah: 85).
Sumber: FP Rumah Zakat
*19 hari menuju Ramadhan 1438 H
#MarhabanYaRamadhan
#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#SholatMencegahPerbuatanKejidanMungkar
#TepatWaktuSetiapWaktu
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar