Tetapi aku selalu punya masalah dengannya. Laju kendarannya itu menjadi terlalu cepat dibanding keinginanku. Urut-urutannya adalah sebagai berikut: pertama kudengar denting pukulan sendok di mangkoknya. Kedua aku tergerak untuk memanggilnya. Ketiga, ketika aku keluar rumah ia sudah tidak ada. Penjual bubur ini lebih menyerupai pembalap katimbang pedagang keliling. Berkali-kal aku gagal berpacu dengan kecepatannya. Daripada untuk membeli semangkok bubur aku harus bertaruh nyawa, kuputuskan untuk berhenti berlangganan saja.
Pedagang bubur ayam ini mengajarkan kepadaku, betapa ada jenis kecepatan yang keliru. Indonesia termasuk negeri seperti itu: ingin cepat mengonsumsi tetapi gagal berproduksi. Risikonya, negeri ini berpotensi mencetak generasi benalu dari waktu ke waktu. Begitu perilaku negaranya, begitu pula perilaku rakyatnya. Ada banyak pengajar kecepatan di negeri ini yang menuju ke arah keliru: cepat kaya, cepat berkuasa, cepat populer untuk akhirnya cuma berakhir di ujung derita.
Kali ini masih pedagang bubur, tetapi dengan gerobak dorong yang kutemui agak jauh di luar kampungku. Aku menghentikannya karena sebuah penawaran yang tak biasa. Dari jauh tampak jelas bahwa ia menjual bubur yang belum pernah ada di dunia yang tertulis mencolok di sisi kanan gerobaknya: ‘’BUBUR KACA’’. Astaga, bubur apa ini? Apakah ini pedagang yang khusus melayani para pemain kuda lumping kesurupan pemakan beling alias pecahan kaca itu? Padahal setahuku, bahkan kesenian kuda lumping itu sudah menjadi barang langka.
Karenanya ku hampiri dia. Aku ingin tahu bubur apa gerangan ini dan siapa pula yang hendak memakannya. Olala, semua ini gara-gara tulisan yang kubaca itu belum rampung adanya. Bunyi lengkapnya adalah: ‘’BUBUR KACA-NG HIJAU’’. Cuma karena bidang gerobak ini tidak mencukupi, tulisan itu harus berbelok di sisi gerobak yang lainnya. Jadilah dari samping, yang terbaca adalah sebuah tulisan yang menawarkan dagangan paling aneh di dunia. Karena sibuk tergelak, aku gagal membeli bubur yang mestinya juga aku sukai ini. Di benakku, bubur kacang hijau itu sudah menjadi rancu dengan remukan kaca yang dioplos di dalamnya. Baru membayangkan saja seluruh tenggorakanku sudah gatal sedemikan rupa.
Pedagang ‘’bubur kaca’’ ini dengan jelas mengajarkan kepadaku sebuah spekulasi yang berbahaya. Bahwa inilah pedagang yang gagal membaca bidang gerobaknya sendiri. Betapa dengan gerobak sekecil itu, ia harus membuat tulisan sebesar itu sehingga ia harus menjalar ke mana-mana, ke bidang yang tidak semestinya sehingga mengacaukan mata pembacanya, dan akhirnya mengacaukan pula sumber rezekinya.
Tetapi jangankan pedagang yang lugu ini, karena memang begitu pula keadaan negeriku. Perencanaan adalah sebuah kemewahan karena apa yang telah direncanakan selalu luput dalam pelaksanaan. Karena apa yang dilaksanakan, malah bukan berasal dari perencanaan. Maka Indonesia yang luas ini, akan teramat luas bagi pikiran yang sempit. Maka lahan yang sempit pun akan menjad padang belantara tanpa keluasan berpikir. Jangankan mengatasi kemiskinannya, membagikan bantuannya saja sudah begini rawan keributan.
Ada lagi pedagang yang satu ini, yang berkeliling kemana-mana tetapi tidak cukup dengan menjual dagangannya, melainkan juga keburukan pesaingnya. Sambil melayani pembeli, mulutnya akan nerocos menjual aib pesaingnya. Bahwa hanya aku yan begini, sementara dia selalu begitu. Jika ada seorang ketahuan berbelanja di seberang, ia segera menganggapnya sebagai permusuhan. Lama-lama pedagang ini tidak sibuk berjualan tetapi sekadar sibuk marah dan uring-ringan dan akhirnya bangkrut sendiri. Pedagang ini dengan telak mengajariku, bahwa pesaing terberat di dalam hidup ini adalah kekeliruan diri sendiri.
Sumber
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar