Dari tiga jawaban itu, nilai tertinggi dipegang oleh nomor a, kedua b dan nilai terendah adalah jawaban c. Maksud soal ini jelas, bahwa nilai tertinggi diberikan pada anak yang berhati mulia, anak yang selalu menolong teman yang tengah susah. Persoalannya, pembuat soal ini tidak pernah menghitung, bahwa jenis kemuliaan semacam itu belum menjadi lahan urusan anak-anak seumur keponakan saya. Kedermawanan semacam itu adalah sebuah bangunan pikiran yang disusun para orang tua.
Kedermawanan semacam itu, menurut saya, malah cuma layak diperagakan oleh para sufi dan orang-orang suci. Jadi hebat benar sekolah kita ini yang menuntut anak kelas 3 SD sudah harus berperilaku seperti orang suci, sementara yang tua-tua, malah yang sudah jadi pejabat pun masih pada sibuk korupsi.
Apa yang kemudian dilakukan keponakan saya? Alih-alih mematuhi perintah soal tes, anak ini tetap kukuh di jalurnya sendiri. Ia dengan segenap kebulatan hati memilih jawaban c dengan risiko cuma mendapat nilai terendah. Bukan cuma nilai rendah yang ia dapatkan. Di sekolah ia juga menjadi bahan gurauan guru-gurunya, di rumah masih diberi bonus ledekan keluarganya.
Anak ini tampak marah dan tidak bisa mengerti kenapa orang-orang tua itu tertawa atas jawabannya. Padahal ia telah berkata jujur. Selama ia bersekolah, belum pernah menjumpai seorang teman pun yang lupa membawa pensil. Kalau pun mungkin ada, teman itu tidak perah meminjam kepadanya. Atau barangkali pembuat soal itu lupa mencermati perkembangan, betapa persoalan anak ketinggalan pensil, penggaris, penghapus dan semacamnya itu, adalah soal-soal yang tidak lagi aktual bagi anak-anak.
Karena sepanjang saya tahu, rata-rata anak sekolah di kota, jauh lebih banyak mengalami boros peralatan katimbang miskin peralatan. Anak-anak itu sering terlalu punya banyak buku, banyak pensil, dan banyak mainan dibanding dengan kebutuhan yahg sebenarnya. Jadi soal ketertingalan pensil adalah hal-hal yang butuh dipertimbangkan lagi, adakah ia perlu dibuat pertanyaan tes karena nyaris tidak pernah menjadi persoalan serius bagi anak modern.
Kasus keponakan saya itu adalah bukti. Bahwa selama tiga tahun ia bersekolah di SD itu, belum pernah sekalipun ia lupa membawa pensil atau ada anak lain yang lupa kemudian meminjam kepadanya. Hal inilah yang membuat ia tak risau memilih jawaban nomor c meskipun dengan risiko nilainya jeblok. Menjawab sesuai dengan kenyataan yang dia alami, jauh lebih mengoda hatinya. Kejujuran bagi anak-anak adalah watak utamanya.
Tapi jika kejujuran semacam itu tidak pernah dihargai di sekolah, maka pendidikan kita jugalah yang entah sengaja atau tidak, telah mengajari anak untuk berbohong dan bersikap hipokrit. Anak dipaksa untuk menjawab dengan jawaban yang menggambarkan kemuliaan hati, meskipun si anak ini sejatinya tidak pernah melakukan perbuatan itu. Kalau pun ia memilih jawaban nomor a, adalah semata-mata karena jawaban itulah yang memiliki skor tertinggi. Jadi jawaban itu jelas bukan bukti bukti perbuatan si anak, apalagi watak anak.
Artinya, ada jenis pertanyaan yang menggiring anak untuk lebih suka berbohong demi meraih nilai tertinggi katimbang berbuat jujur karena ancaman kemerosotan nilai. Jadi, sejak di sekolah bahkan kejujuran dihargai begitu rendah. Barangkali karena inilah, kebohongan menjadi begitu subur di Indonesia. Lebih baik menyenangkan orang dengan cara menipu katimbang berkata jujur tapi tak enak hati. Maka tipuan sungguh soal yang dipentingkan di negeri ini.
Sumber
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar