Suatu hari di Bulan Juni 1995, yang sayangnya saya tak ingat lagi
tanggal dan hari pastinya, saya berada di Komplek STM Negeri Kedungwuni untuk
membaca daftar nama peserta didik baru yang dinyatakan lolos seleksi masuk. Dan
ternyata, nama saya tak ada di daftar tersebut.
Mantan calon siswa STM (kini SMK) Negeri Kedungwuni Kabupaten
Pekalongan. Itulah gelar saya pada Juni 1995. Yup, saya gagal masuk Jurusan
Mesin di sekolah tersebut. Kenapa Jurusan Mesin? Itulah amanat Bapak yang
menginginkan saya kelak bisa memperbaiki mesin produksi tahu di rumah, yang
menjadi usaha keluarga kami. Kegagalan yang kemudian menjadi pembuka sejarah
hidup dan kehidupan saya.
Dan semuanya diawali dari STM Muhammadiyah Pekalongan dimana saya
kemudian diterima pada Jurusan Mesin Tenaga Program Studi Mekanik Umum. Tiga
tahun menjadi anak kost dengan suka dukanya (bersama Pak Zulianto, dan satu
komplek dengan Pak Arif Hidayat). Tiga tahun yang sungguh sangat-sangat
bersejarah.
Bukan cuma menjadi Ketua OSIS dengan ratusan siswa, yang menurut
saya sangat-sangat mewah untuk ukuran anak kampung dari pelosok pegunungan
Selatan Kabupaten Pekalongan berjarak sekitar 100 km pulang-pergi.
Bukan hanya karena dipaksa mengikuti sebuah kompetisi ceramah
keagamaan tingkat kabupaten/kota oleh Guru Bahasa Indonesia, Ibu Siti Masitoh, dimana
akhirnya saya berhasil membawa pulang tropi Juara I dan berhak atas kursus
gratis komputer selama setengah tahun dari sponsor. Ilmu yang pada saat itu
saya pikir tak akan berguna untuk kehidupan saya kelak. Namun kemudian saya
tahu, dugaan saya saat itu ternyata salah besar.
Tak sebatas mempengaruhi perjalanan hidup kala kemudian saya
kembali ke kampung halaman dan terjun di masyarakat. Lika-liku dan pahit
getirnya sungguh laksana asam garam sekaligus jamu dan madu.
Sungguh saya percaya bahwa semuanya bukanlah sebuah kebetulan
belaka. Sang Maha Sutradara telah begitu sempurna membuat jalan cerita itu.
Subhanallah.
Di atas semua itu, atas skenarioNya-lah, saya bertemu dan
berkenalan dengan sesama anak kost yang saya anggap sebagai anugerah terindah.
Yang kemudian kepadanya hati saya tertambat, bahkan jauh setelah lulus di 1998.
Putus-sambung dan kemudian menjalin cerita di atas lembaran-lembaran kertas
karena terpaut jarak ratusan kilometer adalah sebuah novel indah. Sangat-sangat
indah. Lengkap dengan beragam bumbu dan segala romantikanya.
Sampai akhirnya Sang Maha Indah kemudian melengkapi keindahan itu
dengan ikatan suci kami hingga kemudian mengamanati kami bidadari kecil Wafda
Sabila.
*****
Met
milad, Umi Ambar. Terima kasih untuk dan atas segalanya. Semoga Allah yang Maha
Pemurah senantiasa melimpahkan kesehatan, keberkahan, kebahagiaan dan kesabaran
untukmu dan untuk keluarga kita. Amin.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar