Kamis, 24 Maret 2016, saya mengantar putri saya, Wafda Sabila, ke RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan di Karanganyar untuk bertemu dengan dokter spesialis anak. Berangkat dari rumah sekitar pukul 10.15 WIB, sampai di lokasi sekitar pukul 11.00 WIB. Setelah antri dan giliran periksa, sekitar pukul 12.30, kami berdua menuju apotek rawat jalan yang letaknya di sebelah Selatan poliklinik, sekitar 25 meter. Kebetulan masih ada beberapa kursi kosong tepat di depan apotek sedangkan di depan poliklinik kandungan, yang berdampingan dengan apotek, terlihat penuh.
Sejak duduk itulah telinga saya menangkap sebuah pembicaraan telepon. Tak sulit menemukan sumber suaranya, karena hanya satu-satunya. Seorang perempuan muda, saya taksir berumur sekitar 30 tahunan, duduk di tengah barisan yang penuh sesak di kursi depan Poli Kandungan, asyik dengan telepon genggamnya. Dari tempat duduk saya yang berjarak sekitar 6 meter, suaranya nyaring terdengar. Mungkin darurat, pikir saya. Entah sedang mengkomunikasikan kondisi pasien, hasil periksa, atau mungkin urusan pekerjaan yang memang tidak bisa ditunda.
Menit demi menit berjalan dengan lamban, seiring dengan suara wanita tadi, yang sesekali frekuensinya naik turun. Tentu bukan menguping pembicaraan karena saya langsung mendengarnya. Mungkin juga puluhan orang lainnya di ruang tersebut. Dan dari suaranya, saya menyimpulkan, yang sedang dibicarakan dengan lawan bicara bukanlah hal yang kategori darurat, apalagi kerapkali ditingkahi tawa berderai. Saya menghela nafas panjang seraya menatap puluhan orang lainnya, dengan raut muka masing-masing. Juga beberapa ibu yang hamil besar.
15 menit berlalu. Dan belum ada tanda-tanda percakapan telepon itu akan berhenti. Seperti biasa, saya selalu memanfaatkan momen-momen kecil untuk berdiskusi dengan anak saya yang saat ini duduk di kelas 5 SD.
"Wafda," ujar saya lirih, "Perhatikan wanita muda yang sedang menelpon itu, sejak kita duduk di sini", sambung saya. Wafda mengangguk kecil. Setelah pandangannya menemukan sosok wanita tersebut, saya bilang lagi, "Apa yang kamu pikirkan, Sayang?"
"Dia menelpon di ruang umum", jawabnya singkat.
Karena dari tadi Wafda juga mendengarkan suara wanita tersebut, saya ajukan pertanyaan, "Apakah menurut kamu hal itu patut untuk dilakukan?"
Wafda diam. "Lihat sekeliling wanita itu. Tepatkah di lakukan di ruangan seperti ini?"
Wafda menggeleng. "Sepertinya kurang tepat, Bi". jawabnya singkat.
"Lihat sekeliling kita. Ada toilet di belakang kita. Ada taman di belakang wanita tersebut. Juga ada lorong di sebelah baratnya, yang mengarah ke pintu keluar," sambung saya. Wafda mengikuti arah mata saya. "Kalau Wafda menjadi wanita tersebut", lanjut saya, "Dimana pembicaraan telepon itu memang bersifat darurat, sebaiknya bergeserlah ke beberapa lokasi tadi. Minimal ada upaya untuk menghindari gangguan terhadap orang-orang di sekitar, yang dipenuhi dengan beban pikiran masing-masing".
"Kalaupun memang daurat, biasanya durasinya tidak lama, Wafda tetap bisa melakukannya di tempat duduk. Orang-orang mudah mengerti dan memahami. Tapi tidak untuk percakapan yang diselingi tawa, dan sepertinya bisa dilakukan di lain waktu. Kita yang lebih tahu sifat percakapan itu. Tidak sulit 'kan untuk mengatakan: oke, kita lanjutkan nanti lagi ya, saya sedang di rumah sakit?". Wafda mengangguk.
"Kita tidak bisa menghakimi orang lain karena kita tidak tahu persis situasinya. Tapi tak butuh waktu lama bagi kita untuk mencoba mengerti kapan dan dimana sebaiknya kita melakukan percakapan telepon yang panjang lebar, di ruang publik seperti ini. Dan tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk mencoba memahami hal tersebut. Cukup gunakan perasaan saja".
"Kalau kau melakukannya untuk pamer kepada orang-orang bahwa kau sedang membicarakan sebuah bisnis penting, kau sedang menunjukkan bahwa kau bukanlah orang penting. Kalau kau melakukannya agar orang-orang menengok kepadamu, untuk melihat tanganmu yang penuh dengan gelang emas bertahtakan berlian, atau jam tanganmu yang buatan luar negeri, atau sekedar melihat hape-mu yang mahal dan model terbaru, kau sedang berperilaku seperti orang dungu".
"Kesimpulannya sederhana: kalau kau merasa terganggu dengan perilaku seperti itu, lain waktu, jangan coba melakukan itu. Oke?" Wafda mengangguk.
Beberapa menit kemudian, obat kami telah tersedia, dan kami pun segera bergegas meninggalkan tempat. Juga orang-orang yang masih antri, silih berganti. Juga wanita muda yang masih asyik dengan telepon genggamnya.
Kajen, 24 Maret 2016, 13.00 WIB
Untuk Wafda Sabila
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar