Catatan Ramadhan 2015 Hari Ke-5
Warung makan bertirai? Ya. Dan setahu saya, hanya ada di Bulan Ramadhan. Paling tidak, itulah yang saya jumpai pada Ramadhan bertahun-tahun silam, sampai Ramadhan 2014 yang lalu. Bagaimana Tahun 2015 ini? Entahlah. yang pasti, tak sulit menjumpai warung makan dengan spesifikasi unik tersebut. Menurut cerita yang pernah saya dengar sejak kecil, pada Bulan Ramadhan semua syaitan dirantai sehingga tidak bisa mengganggu orang Islam yang sedang berpuasa. Tapi mengapa kemudian warung makan bertirai kebanyakan ramai pengunjung? Bukankah gerombolan syaitan sedang dirantai? Jangan.....jangan.....
Biasanya, warung makan bertirai akan menampakkan diri setelah hari-hari awal Ramadhan, mulai sekitar hari keempat. Di kampung halaman saya, yang kebetulan pasar dan terminalnya tidak begitu jauh dari rumah saya, warung makan bertirai mudah ditemukan terutama pada hari pasaran, yaitu Wage dan Legi (Manis). Sampai sekitar tahun 2003, saya masih akrab dengan dunia pasar sehingga fenomena tahunan itu nyaris saya jumpai sebagai siklus rutin.
Menurut informasi yang saya himpun, pada hari pasaran tersebut, omset warung makan bertirai melonjak drastis. Mengapa? Inilah misteri warung makan bertirai nomor 1 bagi saya. Dan jawabannya pun hanya bisa menggunakan asumsi tanpa ada pembuktian ilmiah.
Konon, pengguna warung makan bertirai didominasi oleh warga pinggiran kecamatan, yang sulit menemukan warung makan di derahnya yang buka pada siang hari. Tentang hal ini, saya setuju dan tidak setuju. Bahwa sulit menemukan warung makan di daerah pinggiran yang buka pada siang hari Ramadhan, ya, itu memang fakta. Jangankan pada Ramadhan. Pada bulan-bulan biasa saja, sulit mencari warung makan di daerah pinggiran. Tentang dominasi warga pinggiran sebagai pelanggan warung makan bertirai, saya masih belum sreg. Mengapa? Seakan kualitas keimanan warga pinggiran dengan warga tengahan (tengah kecamatan, maksudnya) jauh di bawah standar dengan jeda mencolok. Menurut saya, kualitas keimanan tidak begitu dipengaruhi oleh kondisi geografis meskipun mungkin kelengkapan sarana dan prasaran ibadah juga berpengaruh.
Lalu, bagaimana cara transaksi di dalam warung makan bertirai? Inilah misteri kedua bagi saya. Kebetulan, dan alhamdulillah, sampai hari ini saya belum pernah memasuki warung makan bertirai di wilayah saya sehingga detil transaksi pun tidak bisa saya ketahui. Apakah bisa senormal warung tanpa tirai lainnya dimana pembeli datang, memilih menu, dan kemudian makan dengan lahapnya untuk kemudian membayar setelah selesai? Ataukah ada kode-kode khusus?
Misteri ketiga, atau misteri terakhir bagi saya adalah: Mengapa warung makan tersebut perlu diberi tirai? Menghalangi pandangan orang yang lalu lalang? Bukankah kaki mereka biasanya berjuntai sehingga tetap bisa kelihatan bahwa ada orang di dalamnya? Malu?
"Jangan berburuk sangka. Ini Bulan Ramadhan. Banyaklah beramal ibadah. Hindari Fitnah".
Bukan fitnah, sih. Tapi apa iya orang masuk ke dalam warung makan bertirai untuk bermain catur atau karambol, ngisi Teka-teki Silang (TTS), diskusi keagamaan, atau kegiatan sejenisnya?
"Kalaupun mereka memang masuk ke warung makan bertirai untuk makan siang, misalnya, terus kamu mau apa? Ngamuk? Sweeping? Itu 'kan urusan mereka sendiri. Dosanya pun kelak akan mereka tanggung sendiri."
Ya ndak juga. Tapi gini maksud saya. Kalau itu hak mereka, bagaimana dengan hak saya? Bagaimana dengan hak asasi saya untuk mempertahankan puasa, yang bisa goyah karena ada warung bertirai seperti itu?
"Berarti iman sampeyan masih lemah. Masa' pahala yang besar di Bulan Ramadhan tidak bisa juga membuat sampeyan berpegang teguh mempertahankan puasa sampai tiba waktunya?"
Iman saya memang masih lemah. Makanya saya tahu betul bahwa godaan-godaan seperti itu bisa sangat berefek buruk bagi saya. Jangan-jangan bukan hanya mereka yang menanggung dosa itu....
Maksud sampeyan apa? Kalau bukan mereka yang menanggung dosa itu, lalu siapa lagi? Lha wong mereka yang berbuat ya mereka yang bertanggung jawab. Iya to?
Ya kita. Kita semua. Karena kita membiarkan semua itu terjadi dengan amat sangat leluasa. Karena kita semua sangat-sangat permisif dengan hal-hal seperti itu. Paling tidak, kita punya hukuman moral atas pelanggaran norma yang sangat nyata itu. Tapi jangankan hukuman moral, hati dan mata kita pun sangat-sangat membolehkan. Kalaupun secara lisan tidak, akhirnya yang muncul ya seperti tadi: pembelaan atas dosa adalah tanggung jawab mereka. Bukankah dengan diam kita juga sedang mengizinkan hal itu terjadi? Atau, justru dengan membiarkan semua itu, sekaligus menjadi penegas kepada dunia luar: bahwa kita adalah kaum yang teguh pendirian dan mereka tidak?
*****
Bagi saya, warung makan bertirai tetaplah misteri. Sampai kapan? Entahlah.
Salam Ramadhan!
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar