PEMUDA itu masih berusia 20 tahun. Dia
tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati
kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala
karena ingin seperti orang Barat. Dia harus menampakkan diri dalam
rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia
berdebat dengan dirinya sendiri.
“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”
“Aku seorang pemimpin.”
“Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya
lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke
ruang rapat... Sekarang!”
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa
bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung,
dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun
memecah kesunyian dengan berbicara: ”…Kita memerlukan sebuah simbol dari
kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang
dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita.
Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini
sebagai lambang Indonesia Merdeka.”
Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti dituturkannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
yang ditulis Cindy Adams. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas
saya... simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan
jas dan dasi. Ini, menurut Sukarno, untuk menunjukkan kesetaraan antara
bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah).
Sejak itu, Sukarno hampir selalu
mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Seperti yang dia
lakukan saat membacakan peldoinya “Indonesia Menggugat” di Pengadilan
Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Dan peci kemudian menjadi simbol
nasionalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual,
termasuk pemuda Kristen.
Karena itulah, George Quinn dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, mendefinisikan cap (peci) dengan mengambil contoh Sukarno: Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).
Sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual
yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal
Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi,
yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes
Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya
menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez
Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis
setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi
kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam.
Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Tampaknya Sukarno
mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.
Pengaruh Sukarno begitu luas. Pada
pertengahan 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan
swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai
barang-barang bikinan Indonesia. Orang-orang mengenakan pakaian dari
bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk
peci –sebagai pengganti fez– yang dikenakan umat Muslim di
Indonesia. Peci lurik ini mulai terlihat dipakai terutama dalam
rapat-rapat Partindo. “Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap
memakai peci beludru hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di
Italia,” tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution.
Sebenarnya, dari mana asal peci? Sukarno
menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para
buruh bangsa Melayu. Belum ada data penggunaan peci di
kalangan buruh. Di Indonesia orang menyebutnya peci. Orang Melayu di
Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan selatan Thailand, dan
sebagian Indonesia menyebutnya songkok.
Menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23
September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga
menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau
turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama,
bukan orang biasa. “Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum
di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,”
tulis Rozan.
Asal songkok menimbulkan spekulasi
karena tak lagi terlihat di antara orang-orang Arab. Di beberapa negara
Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap
(Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan
dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran
Ottoman.
“Menurut beberapa ahli, ini adalah tutup kepala yang merupakan pendahulu songkok di Asia Tenggara,” tulis Rozan.
Peci tampaknya sudah dikenal di Giri,
salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal
Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke
Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan. “Peci dari
Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan
rempah-rempah, terutama cengkeh,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.
Peci kemudian menjadi penanda sosial
seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sudah dikenal seperti kain,
turban, topi-topi Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk
khusus. Pemerintah kolonial kemudian berusaha mempengaruhi kostum lelaki
di Jawa. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa
dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan
abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian
tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda
mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak
pernah lepas dari kepala mereka.
“Kostum tersebut berupa setelan ditambah
dengan penutup kepala batik atau peci saat wisuda dari sekolah-sekolah
Belanda...,” tulis Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun
1800-1940” yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.
Menurut Denys Lombard, Barat sangat
sedikit mempengaruhi tutup kepala orang Jawa. Topi Eropa sama sekali tak
populer. Demikian pula topi gaya kolonial (yang populer di Vietnam). Kuluk atau tutup kepala berbentuk
kerucut terpotong tanpa pinggiran, yang dikenakan para priayi, dapat
dikatakan hilang dari kebiasaan, dan kain tutup kepala yang dililitkan
dengan berbagai cara (ikat kepala, blangkon, destar, serban) makin lama
main jarang.
“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang
terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk
kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang
nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.
Kini, peci dipakai dalam acara-acara
resmi kenegaraan maupun keseharian umat Muslim di Indonesia seperti
upacara perkawinan, lebaran, atau ibadah salat. Di Malaysia dan Brunei,
songkok dipakai tentara dan polisi pada upacara-upacara tertentu. Pada
19 Juni 2008, anggota dewan DAP Gwee Tong Hiang disingkirkan dari Dewan
Majlis Johor karena tak mematuhi aturan pakaian resmi dan songkok.
Peci tak lagi menjadi tanda kemusliman dan kesalehan seseorang. Kini, ia menjadi busana formal.
Sumber: historia
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar