Ketika jalur Sibelis longsor Minggu (2/2) dinihari, tak sampai 24
jam kemudian, ratusan, bahkan ribuan orang, terkena imbasnya. Harga bensin
eceran menjadi Rp 8.000 dari harga semula Rp 7.500. Harga barang-barang lainnya,
dari ikan asin sampai kerupuk, merangkak naik. Minyak goreng langka di pasaran.
Bahkan akses internet kabel, yang masih menjadi barang mewah, turut lumpuh.
Ragam pendapat terdengar. Macam suara berdengung. Dari yang memaki,
mencemooh, sampai yang mensyukuri karena ketiban rejeki dari musibah itu,
seperti ojek, tukang dorong motor, sampai warung tiban.
Apapun itu, roda kehidupan terus menggelinding. Seperti halnya
raungan alat berat yang sampai hari ini (6/2) masih terdengar di lokasi
longsor. Mencoba menghubungkan kembali dua sisi jalan penghubung Kabupaten
Pekalongan dan Kabupaten Banjarnegara, agar berfungsi seperti sedia kala. Di tengah
siraman hujan. Diantara kerumunan orang, baik penumpang kendaraan yang mesti
menunggu jeda agar bisa melewati jalan, para penonton, tukang ojek, petugas
dari dinas terkait yang terus memonitor, dan ….. entah siapa lagi.
Kawan…..
Yang longsor mesti diupayakan, entah dengan cara apa, agar ia bisa
berfungsi normal. Yang terputus itu mesti disambung agar kedua sisinya bisa
bertemu lagi. Dan aku menyebutnya, terserah engkau setuju atau tidak, dengan
nama: jembatan. Jembatan itulah yang sedang diupayakan untuk dibangun (kembali)
agar semuanya bisa berjalan normal. Seperti semula.
Ya, membangun jembatan. Menghubungkan dua sisi. Menyambung dua atau
lebih kepentingan. Tak melulu fisik seperti normalisasi Jalur Sibelis yang
masih berlangsung sampai saat tulisan ini diketik. Kalau engkau pernah menjadi
penerus pesan dari satu orang ke orang lainnya, maka engkau sedang menjadi
jembatan. Menjadi penghubung. Dan pernahkah engkau benar-benar mengerti,
bagaimana rasanya, kala pesan itu keliru dipahami, misalnya, baik karena engkau
salah menyampaikan atau karena pesan itu sendiri memang memiliki potensi salah
tafsir?
Aku pernah membaca tulisan orang bijak, yang dimuat di Majalah
Intisari Nomor 319 edisi Februari 1990 (kebetulan aku punya koleksi majalah itu
dari tahun 1980-an): Banyak orang merasa
kesepian karena mereka membangun tembok, bukan jembatan.
Ya, membangun jembatan. Menghubungkan dua sisi.
Dan jembatan itu bernama Koordinator Jaringan Operator Sekolah
(JOS) Paninggaran. Sebuah komunitas para Operator Sekolah (OS) yang menangani
Pendataan Online, seperti Dapodik dan PADAMU NEGERI KEMDIKBUD.
Jangan engkau tanya padaku, siapa yang memberiku mandat, atau siapa
yang mengangkatku. Karena, aku pasti akan menggelengkan kepala dengan mantap.
Kaupun tahu, kawan, jawabannya, karena kita pun melangkah dan
berjalan bersama.
Yang tidak aku tahu dari semula, seiring hari berjalan, betapa
tidak mudahnya membangun jembatan yang satu ini. Betapa tidak mudahnya mencoba
menghubungkan beberapa kepentingan, lengkap dengan ragam isi kepalanya. Betapa tidak
mudahnya mengurai keruwetan-keruwetan. Betapa tidak mudahnya meneruskan pesan
dari satu sisi untuk sampai dengan tepat di sisi lainnya. Betapa tidak mudahnya
membawa aspirasi dari satu pihak agar ditindaklanjuti dengan takaran tepat oleh
pihak lainnya.
Ya, membangun jembatan. Menghubungkan dua sisi.
Kau tahu, kawan, aku bukan ahli TIK. Aku bukan programmer komputer
sehingga sampai hari ini pun aku tak berani menginstal PC sekolahan yang rusak.
Aku bukan pakar laptop sehingga sampai hari ini pun laptopku masih saja
berdengung sangat kencang kala mulai panas, persis seperti kompresor. Aku sama
sepertimu, seorang Operator Sekolah.
Lantas mengapa aku berani mengambil resiko membangun jembatan itu,
bahkan menjadi jembatan itu sendiri?
Pahlawan kesiangankah aku?
Kalau maksudmu pahlawan adalah mendapat cibiran, engkau benar. Kalau
maksudmu pahlawan adalah menghadapi tekanan mental yang luar biasa saat
menyampaikan harapan, engkau benar. Kalau maksudmu pahlawan adalah memasuki
rumah tangga SD lain untuk mengkonfirmasi hak-hak OS, untuk selanjutnya
menerima tatapan menusuk karena dianggap kurang ajar, engkau benar. Dan kalau maksudmu
pahlawan adalah merasakan sakit yang luar biasa di satu saat, dan di saat
lainnya merasa perih tak terkira, engkau benar.
Lantas, mengapa jembatan itu tetap ada?
Jembatan itu harus tetap ada, kawan. Sekali lagi, untuk
menghubungkan dua sisi. Untuk meneruskan pesan dari sudut satu ke sudut-sudut
lainnya. Jembatan itu bisa berbentuk apa saja. Jembatan itu bisa bernama siapa
saja. Jembatan itu bisa berbentuk apa saja. Jembatan itu bisa menjalankan
fungsinya kapan saja. Siapapun. Kapanpun. Dimanapun. Karena, ketika engkau
sedang mempermudah urusan orang lain, sesungguhnya engkau sedang menjadi
jembatan.
Ingat kawan: siapa yang mempermudah urusan orang lain, maka Allah
akan mempermudah urusan-urusannya.
Kawan-kawan Operator Sekolah…..
Tak semua orang tahu betapa beratnya tugas kita. Tak semua orang
mau tahu betapa besarnya tanggung jawab pekerjaan yang kita lakukan.
Begitu juga, tak semua orang memahami TIK. Tak semua orang mau
memahami TIK. Dan tak semua orang bersedia memahami pekerjaan orang-orang yang bergelut
dengan TIK, seperti kita.
Karena itu……
Semoga engkau mau mengerti bahwa koordinator hanyalah sebuah
sebutan belaka untuk sepenggal kepingan jembatan. Kepingan-kepingan lainnya
adalah engkau, kawan.
Ketika jembatan itu belum utuh benar, seperti halnya pekerjaan yang
masih berlangsung di ruas jalan Sibelis sampai saat ini, usaha-usaha untuk
mewujudkannya akan terus diupayakan.
Sampai kapan aku dan engkau menjadi jembatan? Sampai titik akhir
kita merasa mampu menjadi penghubung. Sampai engkau merasa tak mampu lagi
menjadi jembatan itu.
Sebagai penutup, cobalah renungkan ucapan bijak Hasan al-Bashri: Aku tahu, rizkiku tak mungkin
diambil orang lain. Karenanya, hatiku tenang.
Selamat menjadi jembatan (sampai engkau merasa tak mampu lagi).....
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar