Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan
penghulu atau petugas Kantor Urusan Agama (KUA) tidak boleh mengutip uang dari
masyarakat dalam melaksanakan tugas. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat
dengan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali bahwa pemberian amplop itu sebagai
”uang terima kasih”.
Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo
mengatakan, pemberian uang terima kasih kepada petugas KUA termasuk
gratifikasi. Menurutnya, petugas KUA merupakan pegawai negeri di Kementerian
Agama yang terikat dengan larangan penerimaan gratifikasi. ’’Hal itu masuk
ranah gratifikasi, setiap penerimaan tidak resmi di luar gaji, terkait dengan
tugas dan wewenang pegawai negeri,” tegasnya, Jumat (13/12).
Dia menyatakan setiap pemberian imbalan atau
hadiah kepada pegawai negeri harus dilaporkan sebagai gratifikasi kepada KPK.
Selanjutnya, KPK akan menentukan apakah penerimaan hadiah terkait dengan
jabatan pegawai negeri atau tidak. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu, Johan menambahkan, KPK
mengimbau agar petugas KUA tidak menerima pemberian uang atau hadiah dari calon
pengantin. ’’Seharusnya ditolak,’’ katanya.
Sebelumnya, Menag Suryadharma mengatakan bahwa
pemberian uang transportasi atau uang terima kasih kepada petugas KUA adalah
hal yang wajar. Menteri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu bahkan
menilai pemberian uang transpor kepada penghulu sudah menjadi tradisi.
“Masyarakat tahu pemerintah tidak menyediakan uang transpor untuk mereka. Nah
karena itu, supaya tugasnya berjalan dan si calon pengantin terlayani maka
pihak yang menikah tidak segan-segan untuk memberikan ucapan terima kasih,”
kata Suryadharma, Kamis (12/12).
Komisi VIII DPR yang menjadi mitra Kemenag juga
memaklumi pemberian “amplop” kepada penghulu. DPR dan pemerintah juga sepakat
untuk mengatur batasan gratifikasi dari masyarakat terkait pencatatan
pernikahan oleh penghulu di luar jam kedinasan dan di luar KUA.
Biaya Nikah
Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag)
tetap akan mengajukan anggaran untuk upah para petugas pencatat akad nikah yang
menikahkan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) dan di luar hari kerja. Hal itu
dilakukan agar tidak terjadi lagi gratifikasi yang membebani mempelai yang akan
menikah.
Inspektur Jenderal Kemenag RI Dr Moch Jasin
menjelaskan, pihaknya tengah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah PP No
47 Tahun 2004 dengan membebankan biaya nikah kepada pemerintah dengan
mengajukan dana sebesar Rp 1,7 triliun. ’’Tetapi, jumlah itu ditolak dan
diturunkan menjadi Rp 1,2 triliun, kemudian diturunkan lagi menjadi Rp 950
miliar. Kami pun akan mengusulkan biaya nikah menjadi Rp 500 ribu bagi yang
mampu tanpa ada tingkatan dan gratis untuk warga miskin. Usulan ini akan kami
sampaikan dalam rapat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu
(18/12), bersama instansi terkait lainnya,’’ kata Jasin saat memberikan
pembinaan pegawai di wilayah Kantor Kementerian Agama Wilayah Jawa Tengah, kemarin.
Mantan wakil ketua KPK itu mengungkapkan,
usulan tersebut telah dihitung berdasarkan kondisi para penghulu di daerah yang
harus menyeberang sungai, naik gunung, bahkan harus menyewa perahu. Ketika
mendapatkan uang transportasi dari warga antara Rp 50 ribu-Rp 100 ribu, menurut
Jasin, tentunya tidak cukup. ’’Kasihan kalau menikah itu dibebankan kepada
masyarakat. Jika usulan itu tidak diterima, kami akan mencari alternatif
pembiayaan. Mengurus SIM atau paspor saja harus membayar,’’ katanya.
Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jateng Drs H
Khaeruddin MA menambahkan, pihaknya pun mengusulkan kepada Menteri Agama
melalui Dirjen Bimas Islam untuk mengedarkan Peraturan Menteri Agama (PMA)
tentang regulasi pembiayaan nikah di kantor dan luar kantor sebagai payung
hukum penerimaan transport bagi penghulu atau merubah besaran biaya nikah dalam
PP Nomor 47 Tahun 2004 dengan mencantumkan unsur biaya pencatatan dan
transport. ’’Selama belum terbit PMA, kami menganjurkan para penghulu untuk
mencatat pernikahan di kantor sesuai edaran dari kami agar terhindar dari
gratifikasi,’’ ujar Khaeruddin didampingi Kabid Urais dan Binsyar Drs HA
Saifulloh MAg.
Terbitkan Aturan
Kepala KUA Kecamatan Getasan, Kabupaten
Semarang, A Mulyoko menegaskan dirinya dan para penghulu di eks-Karisidenan
Semarang tidak akan melakukan mogok kerja, seperti yang dilakukan di Jawa
Timur. Namun, hanya akan menikahkan pada jam kantor hingga 1 Januari 2014
sambil menunggu keputusan dari pusat.
’’Bayangkan jika harus menikahkan di rumah warga
Getasan. Jarak dari kantor cukup jauh dengan medan yang sulit karena berada di
lereng Gunung Merbabu. Apalagi kalau hujan, ketika mengendarai sepeda motor
saat direm ban tetap saja berjalan. Sepeda motor saja milik sendiri. Belum lagi
DIPA dari pusat per bulan hanya Rp 2 juta. Uang itu hanya cukup untuk kebutuhan
ATK,’’ tandasnya.
Mulyoko berharap pemerintah secepatnya
menerbitkan aturan agar ada pengaturan biaya nikah yang membolehkan menarik
biaya dengan dua cara, yakni di Balai Nikah KUA dan di rumah warga dengan
besaran yang berbeda. Terpisah, Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali
Masykur Musa mengatakan, para penghulu di Kantor Urusan Agama tidak dibenarkan
mogok kerja karena tugas mereka tidak hanya masalah administrasi pegawai negeri,
tetapi juga memiliki dimensi spiritual.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu
menegaskan, sebaiknya Kementerian Agama membuat Peraturan Menteri yang
membolehkan menarik biaya nikah dengan dua cara dengan besaran yang berbeda,
yakni di Balai Nikah KUA dan rumah warga. Dalam posisi itu, kata dia, Kemenag
mengatur tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga tidak dinilai
korupsi. ’’Dengan membuat aturan PNBP, akan mendorong para petugas KUA tidak
takut melayani masyarakat karena tidak dinilai korupsi. Bahkan Kementerian
Agama bisa memberikan penerimaan negara, asal besaran biaya nikah tidak
memberatkan masyarakat,” tandasnya.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar