Refleksi Akhir Tahun
Bagian II: Belajar dari Ali Bin Abi Thalib
Laboratorium Raksasa
Masyarakat
adalah sebuah laboratorium raksasa. Disinilah segala teori akan diuji.
Disinilah nyali akan dihadapkan pada fakta-fakta yang tak jarang berbeda
seratus delapan puluh derajat dengan analisa. Maka, siapapun yang
memilih terjun di masyarakat, pasti akan menjumpai hal-hal tersebut di
atas, dengan bentuk dan wujud yang beragam. Ibarat tempat magang, di
laboratorium raksasa itulah setiap peserta dilatih untuk mengenali aneka
persoalan sekaligus disodori beragam alternatif solusinya lengkap
dengan segala resikonya, termasuk dengan resiko-resiko yang sulit
diprediksi.
Maka, teorinya, mereka yang telah mengikuti pelatihan akan memiliki
bekal minimal yang tentu saja, akan berbeda dengan mereka yang sama
sekali tak pernah mengikutinya. Generasi muda yang telah, atau
setidaknya pernah menjalani pelatihan, sedikit banyak akan memiliki
bekal manakala mereka kelak akan menjadi pemimpin.
Calon-calon pemimpin yang telah teruji di masyarakat kemungkinan besar telah memiliki modal dasar, minimal pernah berhadapan langsung dengan aneka karakter dan tipikal individu yang beragam latar belakang. Juga akrab dengan beragam konflik dan persoalan riil yang telah dan tengah dihadapi oleh masyarakat. Di titik inilah ia belajar dan diajari oleh kenyataan. Maka, manakala keluh kesah dan problematika masyarakat beserta aneka opsi solusinya telah sedemikian dekat dengan urat nadinya, kelak, andaikata ia berganti posisi, hijrah dari bawahan menjadi atasan, dari rakyat jelata menjadi pemimpin (dari tingkat desa sampai negara), Insya Allah ia akan tahu bagaimana menempatkan dirinya di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Insya Allah ia akan tahu bagaimana dulu ia dan masyarakat memiliki harapan-harapan kepada pemimpinnya, dan kini di pundaknyalah harapan-harapan itu dititipkan.
Laksana guru, ia
pernah menjadi murid. Ia paham betul bagaimana rasanya menjadi murid
beserta segala penilaiannya terhadap aneka sosok guru yang pernah
mendidiknya. Laksana sopir, ia pernah menjadi kernet sehingga sedikit
banyak ia tahu bagaimana memperlakukan kernet sebagaimana ia dulu ingin
diperlakukan.
Lantas, untuk menjadi sopir yang baik, mestikan setiap calon sopir
menjadi kernet terlebih dahulu? Tentu tidak. Dalam praktiknya, asal
telah memenuhi syarat normatif, seperti cakap mengemudi, memiliki Surat
Ijin Mengemudi (SIM), dan sejenisnya, siapapun bisa menjadi sopir.
Tetapi, bila kita dihadapkan pada dua kandidat dengan syarat normatif
yang sama: sopir alumni sekolah mengemudi terkemuka yang baru lulus dan
sopir yang telah kenyang pengalaman, benarkah kita akan memilih kandidat
pertama, dan bukan kandidat kedua?
Pengalaman bukanlah segalanya. Tetapi, dari orang-orang yang telah
berpengalaman di bidangnya, rasanya tidak berlebihan bila kita lebih
mantap menitipkan amanah pada mereka. Mereka yang lahir dari ”rahim”
masyarakat, hidup dan dihidupi oleh konflik, besar dan dibesarkan oleh
denyut nadi kehidupan nyata, berkeringat dan bahkan menangis bersama
derita banyak orang, berpeluang lebih besar untuk menjadi pemimpin yang
memiliki empati, simpati, dan menghargai orang-orang yang dipimpinnya
daripada pemimpin yang lahir dari ujung tongkat tukang sulap, dengan
iringan mantra sim salabim disertai kepulan asap dan tiba-tiba hadir
serta duduk di singgasana kepemimpinan.
Pemimpin yang telah tertempa oleh pengalaman, dalam lingkup yang paling
kecil sekalipun, memiliki pengetahuan minimal atas orang-orang yang
dipimpinnya, sebagaimana ia dulu berada pada posisi tersebut. Ia
bukanlah orang yang gila jabatan karena sejarah panjangnya telah
mengajarinya bagaimana ia dulu tak bisa menghargai dan menghormati
pemimpin-pemimpinnya yang menjadi gila karena jabatannya. Ia tahu betul
bagaimana bertindak secara benar diantara ketidakbenaran sebagaimana
dulu pemimpin-pemimpinnya melakukan ketidakbenaran tersebut.
Di bawah
kepemimpinan mereka yang memahami pahit getirnya kehidupan, sakitnya
dikhianati, dan perihnya dizalimi, serta pada saat yang bersamaan juga
memahami jalur yang tepat arah lokomotif yang dikemudikannya,
orang-orang yang dipimpinnya akan merasa tenang dan nyaman. Manakala
mereka telah meyakini bahwa pemimpin mereka adalah orang yang benar pada
saat yang benar dan di tempat yang benar, kemungkinan besar mereka pun
akan menempatkan diri pada posisi serupa, loyalitas sepenuh hati dan
berdedikasi tinggi.
Dari kepemimpinan semacam itu, patutlah kita berharap lahirnya
generasi-generasi baru Ali bin Abi Thalib, yang pada usia mudanya,
bahkan sangat muda, telah berani mengambil resiko amat besar untuk
bertaruh dengan kematian manakala beliau menggantikan posisi tidur Nabi
Muhammad SAW yang pergi meninggalkan Mekah bersama Abu Bakar Assiddiq di
malam nan gulita ketika kediaman Rasulullah telah dikepung oleh orang
Kafir dengan senjata terhunus dengan misi tunggal: membunuh Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib muda pasti tahu bahwa peluangnya menjadi korban salah
sasaran atau pelampiasan amarah orang-orang Kafir yang murka karena
buruannya telah lepas nyaris 100%. Mengapa Ali muda berani mengambil
resiko sebesar itu? Selain karena keberaniannya, penulis meyakini bahwa
motivasi terbesar adalah karena ia meyakini akan kebenaran tindakan dari
pemimpin, sahabat sekaligus gurunya, Nabi Muhammad SAW. Kelak, pada
gilirannya Ali bin Abi Thalib memangku tugas sebagai pemimpin, kita
tahu, sebagaimana sejarah Islam mencatatnya, bagaimana ia memimpin.
Nabi Muhammad SAW sendiri bukanlah pemimpin instan. Terlepas dari
atribut istimewanya sebagai manusia yang maksum, terjaga dari perbuatan
dosa serta jaminan masuk syurga, Beliau besar dan dibesarkan dalam
lingkungan masyarakat jahiliyah yang penuh dengan kezaliman, kejahatan,
dan pengkhalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Karier Beliau
diawali dengan menggembala kambing pada usia 8 tahun ketika hidup
bersama Pamannya, Abu Thalib, sepeninggal kakeknya, Abdul Muthalib. Pada
usia 12 tahun, Muhammad muda mengikuti pamannya berdagang ke Syam.
Konflik antarsuku yang kemudian memicu Perang Fijar pun tak luput dari
perhatian Beliau. Pada perang yang berlangsung selama empat tahun
tersebut, pada saat Beliau berusia 16-20 tahun, Beliau ikut membantu
kaumnya, Quraish, meski ada yang menyebutkan bahwa di perang itu Beliau
hanya bertugas mengumpulkan anak panah. Pada usia 20-an, Beliau aktif
dalam Hilfil Fudzul, suatu gerakan untuk memberantas kesewenangan di
masyarakat dan melindungi yang teraniaya. Dalam usia yang relatif masih
muda, 25 tahun, Beliau menjadi manajer bagi tim ekspedisi bisnis
pengusaha ternama Mekah, Siti Khadijah, yang kelak jatuh cinta kepada
Muhammad muda dan menjadi pendamping hidup Beliau.
Setelah menikah, ujian kompetensi dan kualitas metode kepemimpinan
Beliau diawali manakala warga Mekah merenovasi Kakbah yang retak. Proses
lancar renovasi tersebut terhenti ketika Hajar Aswad telah siap
ditempatkan karena semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu.
Keluarga Abdud-Dar dan Adi’ bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk
menyerang siapapun yang akan mengambil tugas itu. Usul Abu Umayah bin
Mughira dari Bani Makhzum sebagai orang tertua yang dihormati agar tugas
menempatkan Hajar Aswad diberikan kepada orang yang pertama kali masuk
ke pintu Shafa, diterima oleh semua kabilah. Orang itu ternyata Muhammad
Al-Amien. Dengan otoritas sesaat yang dimiliki, Beliau berhak
menempatkan Hajar Aswad, suatu kehormatan yang didambakan oleh semua
kabilah. Tetapi, lihatlah yang kemudian terjadi. Secara bijaksana,
Beliau melibatkan semua keluarga untuk meletakkan batu hitam itu.
Caranya: Beliau membentangkan kain. Semua pemimpin keluarga
dipersilakannya memegang pinggir kain. Beliau mengangkat batu itu ke
atas kain lalu semua secara bersama-sama menggotong batu tersebut.
Terakhir, Beliau mengangkat dan meletakkannya pada tempat yang
semestinya. Semua puas.
Lembar terbatas ini tentu tak akan memadai untuk mendeskripsikan kisah
mulia Beliau. Gambaran singkat di atas hanya untuk mempertebal benang
merah tentang latar belakang calon pemimpin dan takaran metode
kepemimpinannya kelak. Ternyata, disamping bekal pengalaman, yang paling
utama adalah akhlak mulia sebagai pilar nomor satu. Tanpa itu, generasi
baru yang meneruskan prosesi regenerasi dan kemudian mengganti, atau
bahkan merebut tongkat komando kepemimpinan dari generasi sebelumnya,
berpeluang besar melestarikan tradisi dendam: memimpin seperti pemimpin
yang senantiasa dikritik dan dicelanya. Mestikah kita, generasi muda,
melanjutkan dan melestarikan tradisi yang sama serta mengulang kesalahan
serupa?
Kualifikasi Pemimpin Idaman
Dari ulasan di atas, menurut hemat penulis, idealnya seorang pemimpin memiliki kualifikasi minimal sebagai berikut:
- Jujur
Kejujuran seorang pemimpin bukan hanya dibutuhkan hampir di semua gerak
langkah kepemimpinannya tetapi juga kejujuran pada dirinya sendiri.
Kesadaran bahwa kejujuran seorang pemimpin untuk mengakui kesalahan,
kekurangan, dan ketidakmampuannya tidak serta merta membuat seorang
pemimpin kehilangan harga diri jarang dimiliki oleh para pemimpin.
Sehingga kemudian mereka lebih memilih berlindung di balik perisai
keangkuhan serta kesakralan jabatan. Tingkat kejujuran seorang pemimpin
biasanya berbanding lurus dengan kesalehan individu dimana ketaatan dan
ketakutannya disandarkan pada kesadaran akan Tuhan yang tak pernah tidur
sedetik pun.
- Amanah
Dengan kompetensi yang dimilikinya, setiap orang akan tahu diri dan
sadar posisi. Sebab, pada hakekatnya, yang lebih mengetahui kemampuan
dan kapasitas seseorang adalah dirinya sendiri. Baginya, jabatan
hanyalah sebuah konsekuensi logis dari tanggung jawab. Atau, lebih
tepatnya, hanyalah sebuah sarana alias jembatan, dan bukan tujuan akhir.
Kalaulah jabatan diidentikkan dengan prestasi, ia bukan kado yang
dihadiahkan, melainkan piala yang diraih pascakompetisi sehat. Pemimpin
yang amanah akan meletakkan jabatan di kedua tangannya. Bukan di kepala
laksana mahkota yang disakralkan, apalagi diberhalakan. Juga bukan di
kaki, yang kelak akan dijadikan pijakan untuk meraih segala ambisi
dengan menghalalkan segala cara dan mengabaikan segala norma.
Pemimpin
yang amanah, yang tahu betul bahwa jabatan adalah amanat yang kelak akan
dipertanggungjawabkan, memiliki keluasan berfikir dan berjiwa besar
yang tak pernah risau oleh kalah atau menang, sehingga ia akan bersikap
tenang laksana air yang mengalir pelan namun sulit dilukai. Kemenangan
tak membuatnya mabuk dan lupa daratan sebagaimana kekalahan tak akan
menyeretnya ke jurang kehinaan, naik darah, sibuk mencari kambing hitam,
dan bergegas ambil posisi di seberang jalan dengan segumpal luka. Ia
adalah sosok yang terjaga emosinya, sehingga ”kegemparan tak pernah
membuatnya keget, kekacauan tak pernah membuatnya panik”, tutur Prie GS
dalam Berdialog dengan Derita dalam kolom Serambi-nya Cempaka Minggu Ini
terbitan Semarang beberapa tahun silam. Karena itulah ia pandai
menempatkan diri. Di manapun posisinya, dia adalah pemimpin sejati,
sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, di depan
menjadi contoh; ing madya mangun karsa, di tengah membangun semangat;
dan tut wuri handayani, di belakang memberi dorongan.
- Peduli
Pemimpin yang baik memiliki deposito simpati dan empati yang melimpah.
Sebagaimana ia ingin dihargai dan diposisikan sebagaimana mestinya, ia
paham betul bagaimanan menghargai dan memposisikan orang-orang yang
dipimpinnya. Sebagaimana salat berjamaah yang berpahala lebih besar
daripada salat sendirian, ia selalu mengedepankan team work alias kerja
tim dalam upaya pencapaian target dan kinerja sehingga tanggung jawab
akan terdistribusikan secara merata sesuai dengan porsinya
masing-masing. Kepedulian yang tinggi membuat dia terhindar dari
pengkultusan individu dan kecongkakan. Maka, dia adalah orang yang kali
pertama merasakan lapar dan berada di barisan paling belakang yang
merasakan kenyang. Bukan sebaliknya. Hubungan horisontalnya dengan
sesama terawat baik dan berkualitas sebagaimana ia melakukan hal yang
sama untuk hubungan vertikalnya dengan Tuhannya. Pemimpin yang memiliki
kepedulian akan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai mitra
dan relasi, dan bukan sekedar sebagai anak buah atau bahkan pekerja
rodi.
- Profesional
Pemimpin adalah sopir yang tahu betul arah dan tujuan dari kendaraan
yang dikemudikannya. Selain manajer dan konseptor, ia juga motivator
yang ulung. Profesionalisme akan menuntun pemimpin dalam merancang dan
mengorganisasikan segala sumber daya yang dimilikinya, termasuk sumber
daya orang-orang yang dipimpinnya. Langkah kakinya bukan hanya
disandarkan pada Petunjuk Pelaksanaan atau Juklak dan Petunjuk Teknis
atau Juknis semata, tetapi juga etika, norma, dan nurani. Ia paham betul
kemungkinan resiko menempatkan orang-orang yang tidak tepat pada
posisinya, sehingga penempatan personel ia lakukan benar-benar atas
kebutuhan dan kualifikasi, dan bukan karena persahabatan atau bahkan
karena sanak famili. Profesionalisme pulalah yang membuat seorang
pemimpin bisa mengatasi segala situasi serta bisa menempatkan diri
secara proporsional sebagai manajer, ayah, sahabat, sekaligus pendengar
yang baik. Manakala seorang pemimpin telah, tengah, dan terus bertindak
secara profesional atas landasan akhlakul karimah, pertanggungjawaban
bukanlah momok yang menakutkan. Karena baginya, pertanggungjawaban
tertinggi bukanlah kepada atasan, lembaga pengawas atau pemeriksa, juga
bukan kepada orang-orang yang dipimpinnya, tetapi kepada Tuhan yang Maha
Tahu.
Generasi Muda vs Generasi Tua
Perdebatan berkepanjangan tentang pemimpin dari generasi tua versus
pemimpin dari generasi muda, yang masih saja berlangsung, selayaknya
tidak menyurutkan langkah generasi muda untuk terus menempa diri dan
kualitasnya. Sebab, pada dasarnya, setiap generasi tengah memahat
prasasti sejarah untuk dirinya sendiri karena hari ini adalah sejarah
pada esok hari. Kalaupun prosesi regenerasi belum jua memberi tempat
bagi generasi muda, tentulah tak bisa diartikan dan serta merta
digeneralisasi bahwa hal tersebut karena ketiadaan sumber daya manusia.
Setidaknya, kelak, beberapa puluh tahun mendatang, generasi yang akan
datang akan mengetahui bahwa generasi saat ini telah melakukan lebih
dari sekadar upaya pembuktian diri.
Penutup
Dengan segala kurangannya, generasi muda adalah aset berharga sekaligus
sumber daya manusia yang potensial. Bagaimanapun juga, generasi ini
adalah calon-calaon pemimpin dan pelaku sejarah di masa yang akan
datang. Proses pematangan menuju kedewasaan berfikir, bertindak dan
bertanggung jawab akan menjadi upaya sia-sia belaka tanpa kesediaan dari
generasi tua untuk memberi sedikit tempat bagi generasi penuh warna
ini. Dalam mencoba membangun karakter pribadinya, rasa tanggung jawab
terhadap diri dan masa depannya, Insya Allah, akan mudah terpupuk subur
dan terpelihara dalam kondisi yang komunikatif dan fleksibel terhadap
kritik, gagasan dan saran konstruktif. Sedikit atau tidak adanya
calon-calon pemimpin muda berkualitas yang lahir dari kawah candradimuka
bernama dunia generasi muda ini bukan hanya akan menghambat
kelangsungan kehidupan beridealisme tinggi, tetapi juga akan menjadi
bukti gagalnya proses regenerasi itu sendiri, yang berarti kegagalan
generasi tua dalam mempersiapkan penggantinya. Jangan pernah melupakan
satu hal: generasi muda saat ini adalah generasi tua esok hari.
Ketidakmampuan, atau bahkan kegagalan generasi muda saat ini dalam
meneruskan tongkat estafet kepemimpinan dari generasi sebelumnya akan
menjadi mimpi buruk dan sejarah kelam bagi generasi selanjutnya.
Kemegahan dan kegemilangan yang dengan susah payah dibangun oleh
generasi tua akan menjadi warisan tanpa makna bila tiada generasi muda
yang siap siaga menerima tongkat estafet kehidupan.
Akhirnya, mudah – mudahan firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An – Nisa ayat 9 yang artinya : “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang – orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka anak – anak yang lemah, yang mereka kuatirkan
terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar “ dapat menjadi bahan perenungan berharga untuk kita semua. Amin.
*****
Tulisan ini dipersembahkan untuk Indonesia dan kampung halamanku
tercinta: Paninggaran, dalam menutup tahun 2013 dan menyongsong tahun 2014. Didedikasikan untuk 15 calon anggota DPRD Kabupaten Pekalongan Daerah Pemilihan 2 (Kajen, Kandangserang, Paninggaran) yang berasal dari Kecamatan Paninggaran, yang akan berkompetisi pada Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Bangkitlah Paninggaran-ku. Bangkitlah
Generasi Mudaku. Bangkitlah!!!
Dipublikasikan di Blog SD Negeri Tanggeran pada 1 Juni 2010.
Catatan:
Tulisan ini diedit ulang dari karya tulis berjudul Pemimpin Muda Idaman: Belajar dari Ali Bin Abi Thalib yang diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Pemuda Tingkat Nasional dan Penghargaan untuk Penulis Artikel Kepemudaan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena; Mei 2009).
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar