Refleksi Akhir Tahun
Bagian I: Menunggu Momen yang Tepat
Alkisah,
seorang kakek terperosok di sebuah parit di tepi jalan desa. Kakek itu
pun merintih kesakitan seraya meminta tolong. Tak lama kemudian, seorang
tokoh masyarakat melewati jalan tersebut. Mendengar rintihan meminta
tolong, sang tokoh menghentikan langkahnya dan bergegas mendekati kakek
tersebut. Sesaat setelah mengamati keadaan sang kakek, sembari melihat
jam tangannya, tokoh tersebut berkata, ”Mohon maaf, Kek. Saya ingin
menolong kakek tapi saya telah ditunggu oleh masyarakat di Balai Desa
untuk membicarakan program pembangunan desa, yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Kakek tenang saja, nanti pasti ada orang yang lewat yang
akan menolong kakek. Permisi.” Dan pergilah sang tokoh meninggalkan
kakek yang masih terus merintih kesakitan.
Tak lama berselang, muncullah seorang tokoh agama. Setelah mengamati
keadaan sang kakek, tokoh agama itu berujar, ” Mohon maaf, Kek. Saya
ingin menolong kakek tapi saya telah ditunggu oleh jama’ah saya yang
telah menanti sejak tadi. Ini pengajian bulanan jadi mereka telah
menunggu sebulan lamanya untuk mendengarkan ceramah saya. Kakek tenang
saja, nanti pasti ada orang lewat yang akan menolong kakek. Permisi.”
Dan pergilah sang tokoh meninggalkan kakek sendirian.
Beberapa saat kemudian, lewatlah di jalan tersebut seorang pemulung
berbaju lusuh. Mendengar rintihan meminta tolong, pemulung itu bergegas
mendekat, kantong plastik dan batang besi dicampakkannya ke tanah, dan
segera menolong kakek tersebut serta membawanya ke rumah penduduk
terdekat. Setelah memastikan sang kakek mendapat pertolongan, pemulung
itu mengambil barang-barangnya dan kembali meneruskan pekerjaannya:
mencari sampah yang bisa dijual untuk membeli beras dan lauk untuk anak
dan istrinya yang setia menunggu di rumah.
Momen yang Tepat
Ada hal mendasar yang ingin penulis sampaikan melalui ilustrasi di atas,
yaitu momen. Tokoh masyarakat dan tokoh agama lebih memilih untuk
melayani masyarakat yang menunggu mereka dengan dalih bahwa menolong
kakek itu bukanlah momen yang tepat. Selain urusan masyarakat yang
mereka anggap lebih penting daripada sekadar menolong seorang kakek,
mereka meyakini bahwa akan datang orang lain yang akan melakukan
pekerjaan itu.
Momen yang tepat. Itulah kata sakti yang sering ditunggu oleh banyak
orang untuk melakukan sesuatu. Tidak terkecuali oleh (sebagian) generasi
muda. Seringkali kita temui generasi muda, yang umumnya terdidik, yang
belum juga mau terjun ke masyarakat karena ”menunggu momen yang tepat”.
Pilihan yang tidak sepenuhnya salah. Tetapi, perlu juga disadari bahwa
proses menunggu tidak lantas membuat jarum jam berhenti berdetak
sementara gerak dan geliat dinamika masyarakat amatlah dinamis.
Di sisi lain, terkadang juga kita temui generasi muda yang pada akhirnya
lebih memilih mundur dari ”gelanggang pertempuran” dengan dalih bahwa
masyarakat telah terlanjur rusak sehingga ia yang mencoba hadir sebagai
agent of change, agen perubahan-sebutan yang amat dibanggakan hasil
produksi kampus-ternyata tak mampu merubah apapun di masyarakat.
Idealisme yang dibawa dari kampus nan megah, sumber referensi dari aneka
buku, diktat, modul, dan karya ilmiah, serta teori-teori panjang lebar
yang dengan susah payah telah dihafalkan, ternyata menjadi teramat
abstrak manakala hendak diimplementasikan di kehidupan nyata. Di kampus,
yang haru-biru oleh gegap gempita semangat perubahan lengkap dengan
teriakan dan acungan tangan mengepal, idealisme adalah kenyataan. Dan
merupakan sebuah harga mati yang tak lagi bisa ditawar. Di masyarakat?
Aneka kenyataan kemudian seringkali berujung pada kesimpulan singkat:
untuk bertahan hidup, kenyataan adalah idealisme. Dan tenggelamlah sang
agen perubahan pada pertempuran batin yang nyaris tanpa jeda. Tanpa
ujung. Tidak sedikit yang menyerah kalah dan terkapar di titik lelah.
Tak adakah celah di antara dua pilihan itu? Apakah pilihan untuk
memperjuangkan idealisme di masyarakat adalah semata-mata pilihan antara
benar dan salah, antara hitam dan putih? Menurut penulis, ada.
Memperjuangkan idealisme memang sebuah keniscayaan. Tetapi, kenyataan
yang dihadapi di masyarakat juga sebuah fakta yang mesti dihadapi.
Karena, konflik antara benar dan salah, jujur dan bohong, dan
sejenisnya, tiada mengenal ruang dan waktu laksana hitam dan putih yang
selain saling meniadakan juga saling mempertegas dan adakalanya saling
melengkapi seperti papan catur yang padu-padan karena harmoni kedua
warna tersebut. Lantas, mestikah mengorbankan idealisme hanya untuk
diterima di masyarakat? Tak adakah jalan keluar untuk bisa eksis di
masyarakat tanpa perlu menggadaikan idealisme, bahkan menjual murah
dengan diskon besar-besaran?
Dipublikasikan di blog SD Negeri Tanggeran pada tanggal 1 Juni 2010
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar