Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah:
216)
Suatu hari, beberapa tahun silam saat aku masih berjuang
sendirian, kala gundah gulana sedang menguasai hati, aku bertamu ke rumah
sahabat sekaligus guruku. Para artis menyebutnya sebagai guru spiritual.
Kesanalah
aku biasa menuju bila nalarku terasa buntu. Ke tempat itulah aku pergi kala
otakku serasa beku.
Seperti biasa, ia senantiasa tenang mendengarku bicara. Sesekali
ia anggukkan kepala tanda memahami ocehanku, tanpa menyela. Asyik menghisap
rokok kretek kesukaannya, tatap matanya mempersilahkanku untuk terus
mengeluarkan isi hatiku. Tetap tanpa menyela.
Sampai akhirnya aku selesai dengan curahan isi hatiku.
Seakan tahu gilirannya tiba berbicara, ia masuk ke dalam dan
kembali dengan termos lusuh beserta dua gelas bening. Dituangkannya air teh yang
masih mengepulkan asap sampai gelas hampir terisi penuh. Ia bangkit lagi ke
dalam, dan sesaat kemudian muncul kembali dengan menenteng gula pasir. Dituangkannya
masing-masing dua sendok ke dalam gelas dan diaduknya perlahan. Satu gelas
disorongkannya ke depanku.
“Silahkan minum,” ujarnya singkat seraya mengangkat gelas
dan meminumnya dua tiga kali tegukan.
Tanpa menunggu dua kali, kulakukan hal yang sama. Hanya sekali
tegukan karena panasnya mencegahku untuk mengulanginya.
“Ada dua orang muslim. Sebutlah namanya Amir dan Doni,” tuturnya
mengawali pembicaraan kala aku meletakkan gelas ke alas lantai yang mulai
lusuh. “Mereka sama-sama beriman kepada Allah. Percaya kepada Nabi Muhammad
sebagai pembawa pesan-Nya. Percaya kepada takdir-Nya. Dan yang pasti, percaya
kepada Hari Akhir”. sambungnya.
“Dan mereka berdua pun masih memiliki persamaan: rajin
beribadah dan yang pasti: rajin berdoa.” Matanya menatapku. Kami bertatapan
beberapa detik sebelum ia meneruskan perkataannya.
“Tiada hari tanpa keduanya berdoa kepada Allah agar IA
mengabulkan doanya. Setiap waktu, setiap saat. Dan keduanya selalu mengiringi
doa itu dengan ikhtiar: berbuat kebaikan dengan kemampuan maksimal.”
Pada suatu hari, Allah SWT berkata kepada Malaikat Jibril:
Ya Jibril, aku akan kabulkan doa Amir. Aku akan penuhi semua keinginan Amir.
Jibril pun bertanya: Ya Allah, bagaimana dengan Doni? Akan
Kau kabulkan jugakah doanya?
Jawab Allah SWT: Belum. Biarkan ia terus berdoa.
Jibril pun bertanya lagi: Mengapa, Ya Allah?
Jawab Allah SWT: Aku menyukai doanya. Aku terhibur dengan
doanya. Maka, biarkan ia terus berdoa. Dan Amir, akan kupenuhi doanya agar ia
tak lagi berdoa karena Aku terganggu dengan doanya”.
Ia berhenti bicara. Dilepasnya peci hitam berenda putih dan
diletakknya di lantai. Diteguknya lagi teh manis beberapa tegukan. Sebatang rokok
kretek diambil dari bungkusnya. Korek api menyala dan beberapa detik kemudian
kepulan asapnya bertabur di ruang tamu untuk kemudian bergerak naik ke
langit-langit ruang tamu.
“Kisah itu ada di Kitab Al-Hikam. Mau kuambilkan kitabnya?”
tanya dia.
Aku menggeleng seraya tersenyum manis. “Tidak. Terima kasih.”
Jawabku singkat. Aku menolaknya dengan dua alasan. Pertama, aku tak bisa
membaca kitab kuning. Kedua, aku selalu percaya dengan apa yang disampaikannya.
Ia manusia biasa. Tepatnya, ustad biasa, sebagaimana ustad-ustad
lainnya di kampungku. Yang membuatnya tak biasa bagiku adalah, setahuku sampai
hari ini, ia selalu berkata jujur. Ia yang begitu piawai menjelaskan makna
tersembunyi di balik ayat-ayat Al-Qur’an.
Salah satu momen yang sulit kulupakan adalah kala ia
menjelaskan tafsir sebuah ayat Al-Qur’an, pada suatu hari, belasan tahun silam,
kala aku masih sangat-sangat muda. Duduk berbaris di depannya, di musholla tua
yang catnya telah banyak mengelupas, aku dan teman-temanku larut dalam khusuk
mendengarkan kata demi kata penjabarannya. Hingga akhirnya, ia terdiam. Perlahan,
kepalanya tertunduk dalam. Kami, aku dan teman-temanku, hafal dengan hal itu. Karena
sesaat kemudian, seperti yang sudah-sudah, ia akan mengangkat kepalanya dengan
mata berlinang. Bukan menetes. Bukan. Tapi membanjir. Butuh waktu cukup lama baginya
untuk kembali melanjutkan tafsir Qur’an tentang ancaman Allah SWT, kisah kaum
yang dimurkai-Nya, gambaran pedihnya siksa neraka, dan sejenisnya.
“Hampir sama seperti ketika kita kedatangan pengamen,”
ucapnya membuyarkan lamunanku.
“Kalau kita merasa terganggu, kita akan cepat-cepat
memberinya uang. Sebaliknya, kalau kita merasa suka dengan pengamen itu, baik
karena suaranya maupun karena lagunya, kita mungkin akan menunggu beberapa waktu
sebelum memberikan uang padanya”.
"Jadi," ucapnya lagi, "Jangan berburuk sangka pada Allah kala doa kita tak kunjung dikabulkan. Berharaplah semoga IA menyukai doa kita. Karena IA Maha Mengerti kebutuhan kita. Karena IA Maha Mengetahui apa yang tidak kita ketahui, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 216: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dan sepulangnya dari situ, kala malam hampir mencapai puncaknya, aku tertidur dengan pulas. Sangat pulas.
Hari ini, kala malam telah bergeser dari puncaknya, sengaja kubuka catatan demi catatan. Untuk mengenang sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang tak 'kan bisa dihapus meski mesin ketik yang dulu setia menemani kini tinggal sejarah di museum antah berantah. Perjalanan yang haru biru oleh air mata, duka, lara, dan tentu saja: tawa, suka, dan bahagia.
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Catatan yang dulu ditulis oleh waktu. Waktu yang kutinggalkan, atau malah meninggalkanku. Waktu yang kerapkali terbuang percuma oleh sebuah kesia-siaan. Dan kala aku menyadarinya, sungguh hal itu sudah sangat-sangat terlambat.
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Catatan yang penuh risau. Dan galau
*****************
KUCARI
DAMAI
Kucari damai
di atas hamparan
pasir pantai
Yang
kutemui………….
buih putih
berserak yang resah
gulungan ombak yang marah
dan jerit camar yang gelisah
Kucari damai
di tengah belantara beton pencakar langit
Yang kudapati……………
tatap mata curiga penuh prasangka
sosok – sosok lunglai terenggut putus asa
dan tawa garing gadis – gadis belia minim busana
Kucari damai
di sudut surau
yang sunyi
Tak jua damai
menyapaku
yang terkulai
pilu dalam letih
Namun……….
Sajadah lusuh
yang tergelar kusut
dan basah oleh
air mataku
membisikku
lirih………
“ Sang Maha
Pemilik Kedamaian
senantiasa
mencintai
hati yang ingin
kembali…….”
Bekasi, April 2002
*****************
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Catatan yang penuh noda. Noda angkuh. Hampir temaram oleh bercak dosa dan pengingkaran atas kuasa-Nya.
*****************
AKU
LELAH, ROBBI……….
Aku lelah, Robbi……….
Bintang-bintang di langit tak jua
mampu kuhitung
sadarku akan kuasa-Mu
tak cukup mampu halangi angkuhku
‘tuk coba injak gunung dan gapai matahari
Aku lelah, Robbi………
Jalan itu kini
tak lurus lagi
pun tak harum
mewangi aroma Qur’ani
Kubangan-kubangan
busuk semakin busuk
dan aku
berenang dalam kebusukannya
Busuknya
semakin busuk, Robb!
Tapi mengapa
aku tak jua jemu
berkubang dalam
kebusukan itu?
Aku lelah, Robbi……….
bercerminku hanya sisakan resah
Karena, wajah itu kini asing bagiku
Mata duka itu teramat akrab
dengan tatap penuh risau dan galau
Cermin penuh daki itu pun membisu
walau heningnya ajukan tanya padaku
Sampai kapan tak kau kenali
wajahmu sendiri?
Aku lelah, Robbi……….
Tapi aku masih
ingin menyibak malam yang beku
menjemput fajar-Mu di ujung sujudku
dengan penuh
harap pada-Mu
‘tuk tata hati
sucikan diri
menyambut panggilan-Mu
yang datang pasti
Atau untuk
sekedar bersihkan daki
di cermin itu…
Kajen, 1
Muharram 1430 H
29 Desember 2008 M
*****************
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Catatan yang padanya kutemukan sebuah ikrar untuk menggapai impian. Untuk kemudian kembali menyadarkanku, bahwa jalan hidup adalah pilihan. Berbeda dengan lahir, muda, sakit, tua, dan mati yang hanya bisa dijalani dengan totalitas kepasrahan, menjadi baik adalah pilihan dan menjadi benar adalah prioritas. Besarnya piala di ujung jalan sebanding dengan sulit dan beratnya perjalanan.
*****************
KAMU BISA, RON!!!
Langit biru kehitaman. Tiada gumpalan awan
yang membiaskan kelam. Sebuah bintang sendirian. Nun jauh di sana rembulan bersinar penuh. Serakan lukisan
putih membentuk gambar pulau menghias di dalamnya. Cahayanya tak terlalu tajam.
Atau mungkin kalah tajam dengan cahaya lampu neon di tepi jalan Cikarang –
Cibitung depan FSW, di tempat aku berdiri sekarang. Kutatap bulan sesaat dan
berharap ada sesuatu yang membuatku terkejut, heran, atau bahkan takut. Tapi,
semua tampak biasa. Tak ada yang istimewa. Yang ada hanya aku yang
perlahan-lahan melangkah pulang menuju kontrakan. Dengan …..sesuatu yang …..ah,
entah apa namanya.
Ingatanku berputar kembali beberapa jam
yang lalu, saat aku minta ijin pulang dari perusahaan untuk memeriksakan diri
ke dokter. Saat tak dapat kutahan rasa kagetku ketika di kuitansi harga obat
yang harus kubayar tertera Rp 85.000,00. Kalaulah di sakuku saat itu berdesakan
uang ratusan ribu, mungkin aku tak perlu seterkejut itu. namun di saat yang
kesekian kalinya kesulitan uang kembali menghimpitku, uang sejumlah itu amatlah
besar. Dan sesaat menyesakkan dadaku. Ingin kumeratap dan merintih. Ingin
kuteriakkan barisan kata yang selama ini kuhafal, “Mengapa, ya, Robbi?”. Mataku
terasa panas dan kepiluan itu nyaris menjebol pertahanan air mataku.
Tapi …..tidak! aku tak ingin seperti itu
terus setiap cobaan-Nya menghampiriku. Aku tak inginkerapuhan dinding hatiku
semakin parah. Aku tak ingin mendramatisir semuanya. Aku tak ingin tenggelam
dalam kepedihan itu. aku tak ingin. Benar bahwa hatiku teramat ngilu.
Membayangkan bahwa penyakit itu datang tatkala aku belum berdiri tegak dari
goyahku kemarin adalah kepedihan yang mengoyak. Dan menghempaskanku dalam
ketidakberdayaan. Benar bahwa pundakku serasa tak mampu lagi dipikulkan beban
berat itu.
Tapi aku tak sendirian. Mataku sempat
menangkap wajah-wajah terkejut ketika melihat harga obat yang mesti mereka
bayar. Mataku melihat raut muka pasrah dan jemari lunglai meghitung lembaran
uang di dompet lusuh. Mungkin seperti itukah ekspresi wajahku?
Di kamar ini, diiringi suara putaran kipas
angin dan ditingkahi alunan sayup irama lagu Sunda dari kamar Opik, teman
kontrakan sebelah yang bekerja di Ramayana Cikarang, kucoba menghadirkan
lukisan bulan purnama tadi. Indah, cerah, namun tak terjangkau. Ibarat
cita-citaku. Entah berapa banyak keinginanku yang belum kesampaian. Kuliah
masih impian, naskah cerpen dan artikel pun masih berbentuk endapan ide kosong
di benakku. Desahku mengingatku, aku ingin jadi penulis. Keinginan yang
terpatri kuat, bahkan lebih kuat menahan ide-ide itu. hingga sampai sekarang
masih berupa gumpalan-gumpalan ide tanpa makna. Kesuksesan macam apa yang ingin
kuraih bila inspirasi tulisan-tulisan itu kubiarkan teronggok? Sering aku
menyadari, terlalu dini untuk bermimpi membangun istana di atas pondasi
“seandainya”. Tapi sesering itu pula aku hanya diam, diam, dan diam.
Kelelahanku bukanlah karena aku berlari terengah-engah mewujudkan ide itu
menjadi karya bernilai. Menjadi cerpen dan artikel berbobot untuk kemudian kukirimkan
ke koran, majalah, dan tabloid. Bukan. Kelelahanku karena aku terlalu sibuk
menghiutng kemalanganku. Menghitung musibah, menghitung resah, dan menghitung
kesuksesan orang lain. Menghitung semuanya!!!.hingga aku lupa menghitung nikmat
yang Ia berikan. Aku lupa untuk menyadari bahwa di bawah sana bertebaran kemalangan-kemalangan yang
lebih dari sekedar kemalangan biasa. Aku lupa itu. atau mungkin sengaja
melupakannya, agar aku lebih leluasa menghitung jumlah kemalanganku. Dan
menengadah sembari berteriak di sunyinya malam, “Mengapa Kau timpakan ini
padaku, Robbi?”
Entah berapa banyak inspirasi yang sempat
kutangkap musnah sia-sia hanya karena aku enggan menyimpannya dalam memori
tulisan untuk kemudian mengubahjnya menjadi karya-karya berbobot dan bernilai
jual tinggi. Tentang teman kerjaku yang begitu mengggilai nomer-nomer buntut
yang membuatku berhati-hati menceritakan mimpi-mimpiku karena ia pasti akan
langsung menghitung dan mereka-rekanya. Katanya, kalau lihat kupu-kupu berarti
angka 55. ah, kenapa ia tak jadi guru matematika saja?
Tentang laki-laki kuli bongkar muat pasir
di tepi jalan pintu masuk tol Cibitung yang seringkali kulihat menenteng
cangkul menunggu truk pengangkut pasir manakala aku juga menunggu bis jemputan.
Katanya, ia harus menghidupi istri dan tiga anaknya dengan penghasilan tak tentu.
Truk pengangkut pasar tak pasti datangnya, sementara kebutuhan hidupnya tak
pernah mau menunggu.
Tentang muka-muka lunglai di sudut apotek
yang kulihat saat berobat siang tadi. Ah, kenapa tak satupun yang kuajak
ngobrol agar kutahu penyebab kelesuan mereka?
Tentang nasib karyawan kontrak di tengah
kerasnya perjuangan hidup dan diskrimansi perlakuan oleh perusahaan. Tentang
Kabag-ku yang katanya dulu ketua serikat pekerja yang sangat getol
memperjuangkan nasib karyawan lainnya tapi mengalami metamorfosis yang teramat
cepat manakala ditawari jabatan itu oleh perusahaan dengan gaji 2 juta-an. Itu
baru gaji pokok. Belum lainnya, termasuk “kepandaiannya” dalam “menyulap”
angka-angka dan “akrobatik” lainnya. Ah, jadi ingat kang Jalalaludin Rahmat
yang menulis tentang prinsip hidup waton slamet, yang lalu menjadi slogan dan
ditulis besar-besar di bodi truk yang hilir mudik di jalur Pantura: “Utamakan Selamat”. Kalau Kang Jalal bisa,
kenapa aku tak bisa menelurkan karya-karya besar?
Tentang banyak hal, yang kujumpai setiap
hari. Begitu banyak peluang dan aku masih termangu. Ah, kekuatan macam apa yang
bisa membuatku segera bangkit mengambil bolpen, kertas dan menulisnya, lalu
menggeser mesin ketik untuk menciptakan karya-karya terbaik yang kubisa?
Ayo, Ron, bangun dari tidur panjangmu.
Peluang yang kamu nanti telah ada di hadapanmu. Wujudkan impianmu. Kembangkan
imajinasi dan kretivitasmu. Bangun, Ron! Jangan buang waktu dengan mengharap
keajaiban. Hari ini sedang kamu tulis sejarah untuk dan atas namamu sendiri,
Ron. Lakukan sekarang atau waktu akan melibasmu dengan meninggalkan
penyesalan!!!
Cikarang, Bekasi
Selasa, 8 Mei 2001
21.00 WIB
*****************
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Catatan yang mengingatkanku akan pengorbanan. Pengorbanan dari orang-orang yang kucintai dan mencintaiku sepenuh hati. Namun, belum seujung kuku pun bisa kubalas pengorbanan itu.
Bapak...
Ibu...
Simpuh hormat dan baktiku. Ampuni anakmu. Setiap tetes keringatmu adalah darah yang mengalir di tubuhku. Tak terkira harapanku untuk selalu bisa melihat senyummu mengembang bahagia walau sampai kini belum mampu juga kuberikan.
Hari ini, Bu, 33 tahun silam, di antara perjuangan hidup dan mati, kau hantarkan aku ke dunia ini dengan tangis kecilku. Tangis yang membuatmu tersenyum bahagia dengan derai air mata dan keringat bercucuran. Untuk kemudian air mata dan keringat itulah yang menjadi sahabat perjalananmu dalam memberikan segalanya untukku.
Aku tahu, tulisan ini tak 'kan terbaca olehmu. Karena, jangankan internet dan komputer, kalkulator pun kau tak tahu. Tapi, apakah kau tahu, bapak dan ibuku, engkaulah guru matematika terhebatku. Ilmu kalkulasimu tak tertandingi oleh ahli matematika manapun di dunia ini. Kemampuanmu bergelut dengan angka-angkalah yang telah mengantarkan anakmu sampai di titik ini. Titik yang selalu kau banggakan namun belum pernah mampu aku membanggakanmu.
Doa. Ya, hanya doa yang mampu kupanjatkan. Juga malam ini, di atas sajadah lusuh. Dalam sujudku pada-Nya, dengan isak dan derai air mata, aku hanya bisa berdoa untukmu. Semoga Allah yang Maha Pengasih senantiasa memberikan yang terbaik untukmu. Untukmu, pahlawanku. Amin.
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Catatan akan anugerah Ilahi. Yang tak pernah henti IA berikan untukku. Kala kuingat atau kala kumelupakan-Nya.
Apa yang tak kupunya, Robbi? Apa?
Kau berikan untukku keluarga yang senantiasa menjadi bahan bakar bagi semangatku. Kau berikan untukku si kecil Wafda dan Uminya, yang menjadi teman, sahabat, dan guruku dalam belajar menjalani hidup.
Kau berikan untukku sahabat-sahabat terbaik. Kau berikan untukku apa yang Kau berikan untuk orang lain dan Kau juga berikan untukku apa yang tak kau berikan untuk orang lain.
Masya Allah. Subhanallah. Astagfirullah.
Ampuni aku, wahai Penguasa Kehidupan. Kau berikan semua untukku tapi kuberikan sangat sedikit untuk-Mu. Lalaiku, salahku, lupaku, malasku. Tak terhitung kuberikan untukmu.
Di keheningan malam ini, ijinkan aku menengadahkan kedua tanganku. Beri hamba-Mu ini kekuatan untuk mengemban amanat usia ini di jalan-Mu. Dengan petunjuk-Mu. Dengan hidayah-Mu. Menuju ridho-Mu. Amin.
Hari ini, kubuka kembali catatanku...
Untuk memulai lagi catatan yang baru. Dengan semangat baru. Dengan niat baru. Dengan harapan baru. Semoga Engkau berkenan mempermudahnya untukku. Amin.
############
Didedikasikan untuk Bapak & Ibu, Kakak dan keponakanku, serta kerabat dan saudara.
Dipersembahkan untuk Ilzama Maula Wafda Sabila dan Uminya.
Ditulis untuk sahabat-sahabat terbaikku. Juga rekan-rekan dan semua yang kucintai dan mencintaiku.
Juga untuk yang senantiasa mencela dan mencercaku. Spesial terima kasih untuk kalian, yang telah meluangkan waktu 24 jam sehari semalam, 7 hari seminggu, dan 31 hari sebulan tanpa lelah untuk selalu meneriakkan keburukan, kesalahan, dan kekhilafanku. Dengan biaya nol rupiah, aku selalu punya tim penilai yang tak pernah jemu mengoreksi salah dan benarku. Tetaplah bersemangat untuk terus melakukannya seperti yang selama ini kalian lakukan sebagaimana aku akan berusaha mempertahankan semangat untuk melakukan hal yang sebaliknya.
Ketika wajah ini penat memikirkan dunia, maka berwudhulah.
Ketika tangan ini letih menggapai cita-cita, maka bertakbirlah.
Ketika pundak tak kuasa memikul amanah, maka bersujudlah.
Ikhlaskan semuanya dan mendekatlah padaNYA.
Agar tunduk disaat yang lain angkuh.
Agar teguh disaat yang lain runtuh.
Agar tegar disaat yang lain terlempar (halaqohdakwah.com)
Semoga Allah yang Maha Pemurah senantiasa mempermudah niat dan jalan baik kita. Amin.
Paninggaran, 14 September 2012
Dini hari
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar