Masih segar dalam ingatan saya iklan Extra Joss yang beberapa waktu lalu membanjiri televisi: Laki? Minum Extra Joss…”. Seingat saya, beberapa versinya telah keluar dengan beberapa artis menjadi bintang iklannya.
Dalam
pemahaman saya yang awam tentang bahasa periklanan, Extra Joss sedang
berupaya membentuk (atau mungkin meneguhkan kembali) citra produk yang
maskulin. Kata-kata “laki” yang digunakan setahu saya mengacu pada
“lelaki” yang dipergunakan dalam bahasa Betawi.
Sejak edisi awal iklan tersebut ditayangkan, sesungguhnya, ada yang mengganjal di benak saya.
Di tempat tinggal saya, kawasan pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah,
istilah “nikah” dalam Bahasa Indonesia maknanya hampir sama dengan
nikah dalam bahasa lokal, meskipun lebih populer dengan istilah “kawin”.
Artinya, pertanyaan dalam bahasa lokal: “wis nikah durung?” maknanya
sama dengan “Wis kawin durung?” yang berarti “Sudah nikah belum?”
Seiring
dengan perkembangan dunia pendidikan, di wilayah saya kemudian banyak
guru-guru yang berdatangan (dan didatangkan) dari wilayah Timur Propinsi
Jawa Tengah, seperti Klaten, Blora, Demak, dan sekitarnya. Beberapa
rekan kerja saya saat ini juga berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Dari
wilayah itulah muncul istilah “rabi” yang berarti “nikah” meskipun
kadang juga bisa berarti “istri”. Sehingga, pertanyaan “Wis rabi
durung?” bermakna “Sudah nikah belum?” sementara pertanyaan “Wis duwe
rabi durung?” bermakna “Sudah punya istri belum?”.
Repotnya,
“rabi” dalam bahasa lokal berarti “hubungan seksual”. Dalam tatanan
sosial, kata “rabi” termasuk kategori kata-kata vulgar yang sangat tidak
sopan diucapkan di depan orang banyak. Maka, kala pertanyaan “Wis rabi
durung?” diucapkan di muka umum, bagi masyarakat di wilayah saya,
merupakan pertanyaan yang tidak patut ditanyakan sekaligus terlarang
untuk dijawab karena sedang menanyakan “Sudah melakukan hubungan seksual
belum?”
Lazimnya
Bahasa Jawa yang mengenal tingkatan sesuai strata sosial dan situasi
pembicaraan, kata “rabi” pun memiliki bahasa turunan atau bahasa tingkat
kedua, yaitu “laki”. Sama-sama bermakna “hubungan seksual”, kata “laki”
dipergunakan untuk menyebut hubungan seksual pada hewan. Kalaupun
dipergunakan dalam bahasa harian, biasanya merupakan kata-kata makian
atau umpatan.
Awalnya,
saya mengira istilah tersebut hanya dipergunakan terbatas oleh
masyarakat di sekitar saya. Ternyata, istri saya yang berasal dari
Kabupaten Batang pun mengenal istilah tersebut dengan makna yang sama.
Penasaran, saya mencoba menelusurinya melalui rekan-rekan kuliah yang
berasal dari kabupaten tetangga seperti Pemalang dan Tegal. Dan saya pun
memperoleh jawaban serupa.
Sesaat
sebelum tulisan ini saya ketik, saya mencoba menelusuri mesin pencari
di internet. Dengan kata kunci “laki” dan “extra joss”, beberapa tulisan
saya baca. Salah satunya saya temukan di creasionbrand.blogspot.com.
Di bawah artikel yang mengulas kekuatan iklan tersebut dari sisi
pemasaran, seorang pembaca meninggalkan komentar pada tanggal 29 Juni
2012: “Iklan itu beredar di seluruh Indonesia, anda tahu arti kata
LAKI bagi org Jawa Tengah terutama daerah pantura?…rasanya lebih bijak
kalau gunakan kata LELAKI,atau LAKI-LAKI bukan bhs. jakarta LAKI, karena
sbg orang jateng saya risi mendengar kata LAKI, silahkan diresearch
dulu..”
Terlepas
dari grafik penjualan produk tersebut di wilayah saya, dan juga kawasan
Pantura, sampai saat ini saya masih merasa sangat-sangat tidak nyaman
kala iklan tersebut ditayangkan di stasiun radio lokal. Sekali lagi,
sebagai orang yang awam terhadap dunia periklanan, saya ingin menutup
tulisan ini dengan mengulang judulnya: Perlukah Iklan Memahami Bahasa Lokal?
Dimuat di kompasiana pada 14 Agustus 2012.
Update:
Pada Mei 2015, iklan produk tersebut telah muncul dengan versi baru. Persamaannya: masih menggunakan kata "laki" sebagai jargon.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar