Di
sebuah kompleks kost-kostan, seorang pemuda, sebutlah namanya Danu, menyetel
radio dengan volume maksimum. Tetangga kamarnya, sebut saja misalnya Iwan,
merasa terganggu. Maka datanglah Iwan ke kamar Danu dan dengan santun meminta Danu
untuk mengurangi volume radionya. Di luar dugaan, Danu marah dan dengan nada
suara yang tak kalah tinggi dengan volume radionya, Danu memaki: “Radio,
radioku. Aku beli dengan uang, uangku sendiri. Kusetel dengan listrik,
listriknya kubayar sendiri. Apa urusanmu?”
Lumerlah
kesabaran Iwan oleh siraman kata-kata itu. Lalu, Iwan pun menjawab: “Telinga,
telingaku. Kalau sakit, aku yang bayar sendiri ongkos obat dan dokternya. Bila
karena suara radiomu itu telingaku tuli, memangnya kamu mau membayar ganti
rugi?”
Siapa
yang benar? Mungkin keduanya benar, karena telah berbicara untuk dan atas nama
hak pribadi. Itu kalau hak pribadi diartikan sebagai hak milik yang tak seorang
pun bisa mengusiknya dan telah melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Terus,
siapa dong, yang salah?
Imbasnya,
muncullah pembenaran-pembenaran atas kebenaran versi tersebut. Yang lebih
parah, kebenaran kemudian diteropong dari sisi yang menguntungkan dan mendukung
pembenaran atas kesalahan-kesalahan itu. Kebenaran lalu menjadi perisai sesaat,
parit perlindungan sewaktu darurat, bahan diskusi dan makalah seminar yang
berdaya jual tinggi, slogan indah untuk diteorikan dan dibukukan, headline yang
mampu mendongkrak oplah surat kabar secara fantastis, dan ….. selesai. Titik.
Mau
bukti? Sesekali luangkan waktu sejenak untuk mengamati deretan koran, tabloid,
atau majalah yang dipajang di tepi jalan atau di kios-kios agennya. Diantara
koran dan tabliod yang berbobot, akan teramat mudah kita temui tabloid-tabloid
bercover tubuh-tubuh mulus berbalut busana minim dengan pose-posenya yang
teramat aduhai. Dengan harga yang relatif murah, sekitar 5.000,-an, uang saku
pelajar SMP pun tak sulit menjangkaunya.
Tidak
usahlah bicara pornografi. Tokh kita juga pernah (sangat) lelah mengikuti
perdebatan panjang soal definisi pornografi pada kasus-kasus foto seronok beberapa
waktu lalu. Tapi mari bicara hak pribadi. Mereka, orang atau orang-orang yang
berdiri di belakang penerbitan media cetak semacam itu, punya hak pribadi untuk
melakukannya. Alasan pembenarannya? Respon pasar, kepentingan bisnis, hukum
yang belum (atau tidak) jelas atauran mainnya, dan sebagainya, adalah deretean
alsan yang bisa dikemukakan. Lalu, bagaimana dengan hak pribadi pembaca, yang
juga berhak (banget) untuk membaca dan memperoleh informasi yang menyehatkan
mata dan menyejukkan hati?
“Ah,
itu ‘kan masalah pilihan saja. Semua ‘kan terserah konsumen.” Itu mungkin dalih
pembenaran berikutnya, yang kemungkinan besar akan memancing pembenaran-pembenaran
baru yang saling berlawanan. Nggak jauh beda ‘kan dengan razia minuman keras di
toko-toko yang katanya “TANPA IZIN”, yang seringkali diakhiri dengan pemusnahan
ratusan botol barang bukti? Pokok persoalannya, izin menjual (yang untuk mengurusnya
pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit) atau menjual itu sendiri? Bagaimana
dengan pabriknya, yang terus memproduksi minuman beralkohol yang memabukkan
itu, dan jelas-jelas telah diharamkan agama?
Maka,
sesungguhnya, bijakkah menyalahkan, menghujat, dan menuduh tak bermoral pada
sang gadis belia, yang karena ingin seseksi bintang idola maka ia pun mengenakan
busana serba minim, serba ketat, dan serba menonjolkan aurat dan manakala ia
ditanya mengapa, ia pun menjawab ringan, “Tubuh, tubuhku. Baju aku beli dengan
uang, uangku sendiri. Ini hak asasiku. Apa urusanmu?
Sebaliknya,
perlu jugakah menuduh menuduh sok alim, munafik, dan sok suci tatkala pemuda-pemuda
yang tengah bersemangat mengikuti pengajian-pengajian di masjid dan mushola,
yang sesekali juga menikmati panorama gratis itu, menjawab balik, “Mata,
mataku. Hati, hatiku. Aku juga punya hak untuk melihat segala hal positif yang
menyehatkan mata dan menyejukkan hati dan bukannya pemandangan yang membuat
mataku panas dan hatiku membara serta otakku dipenuhi oleh syaitan-syaitan yang
berdansa kegirangan?
Semoga Romadhon yang penuh ampunan ini mampu
menyirami dan menyejukkan jiwa kita akan kebenaran yang seringkali tak lagi
benar oleh pembenaran-pembenaran semu yang kita lakukan. Semoga. Amin.Paninggaran, 10 Ramadhan 1423 / 15 November 2002
Jelang tengah malam.
Salam Kreatif!
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar