Ustad Mikhlan lahir pada 15 Juni 1956 dari pasangan Bp. H. Khusaini – Ibu Khuyiroh yang taat beragama. Sebagaimana keluarga lainnya di Desa Krandegan, sekitar 1,5 km sebelah Selatan Kantor Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan, Ustad Mikhlan akrab dengan kehidupan khas petani yang tak jauh dari lumpur sawah. Karena kesadaran sebagian besar masyarakat yang memang masih rendah akan pentingnya pendidikan formal, Ustad Mikhlan tidak menyelesaikan pendidikan di SD dan memilih membantu orang tuanya berdagang dan bertani.
Saat berusia 18 tahun, tepatnya pada tahun 1974, ayahanda Ustad Mikhlan mengirim dia ke Pondok Pesantren Miftahul Huda Pesantunan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan asuhan Bp. KH. Fachrurrozi untuk memperdalam ilmu agama. Bertahan 3 tahun, Ustad Mikhlan meneruskan pencarian jati dirinya ke Ponpes Tegalrejo Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Setelah 3 tahun di sana, dahaga Ustad Mikhlan muda akan ilmu agama tak jua terobati, yang pada akhirnya mengantarkannya menuntut ilmu pada KH. Maimun Zubair di Ponpes An Nur Sarang Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Ternyata, ponpes tersebut adalah pelabuhan terakhir Ustad Mikhlan dalam menuntut ilmu agama, karena setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1981 kala ia berusia 25 tahun, ayahnya meminta ia untuk menikah.
Pada tahun 1982, lahirlah putri pertamanya, bersamaan dengan keinginan kuatnya untuk mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Di ponpes Kyai Wali Tanduran Paninggaran asuhan Ky. Hisyam Abdulhadi (alm), yang merupakan adik iparnya, Ustad Mikhlan terjun pertama kalinya di masyarakat. Di ponpes yang kala itu merupakan satu-satunya di kawasan Kecamatan Paninggaran, Ustad Mikhlan bertahan sampai sekarang meskipun ponpes tersebut telah melewati masa kejayannya.
Dengan honor antara Rp 25.000 – Rp 40.000 per bulan yang tak mesti diterimanya, sementara kebutuhan hidup istri dan 2 anaknya juga mesti dicukupi, Ustad Mikhlan berfikir untuk memulai usaha baru, yang tidak mengganggu aktivitasnya di Ponpes Kyai Wali Tanduran. Dengan modal awal sekitar Rp 300.000,- pada awal tahun 1987, Ustad Mikhlan memulai usaha barunya: berdagang pakaian keliling ke pelosok desa, dimana pada saat itu masih jarang yang berminat menerjuninya. Daerah pelosok yang menjadi tujuannya adalah daerah Gembong, Kecamatan Kandangserang Kabupaten Pekalongan yang ditempuhnya dengan berjalan kaki sekitar 4 jam untuk menempuh jarak sekitar 30 km dengan medan yang didominasi oleh hutan belantara.
Keuletan dan kegigihan yang dibingkai dengan keramahan, membuatnya mudah dikenal masyarakat dimana ia berdagang. Pada tahun 1995, masyarakat Gembong meminta Ustad Mikhlan untuk mengajar orang tua di rumah-rumah penduduk, yang langsung dipenuhinya. Dengan niat tulus, Ustad Mikhlan mulai menyiasati waktu antara menjalankan usahanya dengan menularkan ilmu agamanya. Pasar tradisonal Gembong yang hanya buka pada hari pasaran Legi dengan durasi antara pukul 6 – 8 pagi, membuatnya mesti cermat mengatur jadwal. Meski melelahkan, aktivitas itu dijalaninya dengan senang hati. Prinsipnya, Allah Maha Kaya.
Aktivitas tersebut dijalaninya sampai pertengahan tahun 1999, manakala masyarakat Koyasa, sekitar 1 km dari Gembong, memintanya untuk melakukan aktivitas yang sama. Panggilan nuranilah yang pada akhirnya menjawab keraguannya untuk memenuhi permintaan tersebut. Bertambahlah jadwalnya. Dari aktivitas di dua tempat tersebut, Ustad Mikhlan terkadang mendapat rizki tambahan dari warga masyarakat yang diajarnya sebesar Rp 25.000 per bulan.
Terkadang, Ustad Mikhlan merasakan beban hidup yang teramat berat. Lebih-lebih manakala 2 anaknya di pondok pesantren telah meminta kiriman uang. Tiap bulannya, Ustad Mikhlan mesti menyiapkan anggaran sebesar Rp 500.000 untuk kedua anaknya yang menuntut ilmu di tempat yang sama. Di sisi lain, kerapkali warga masyarakat yang membeli barang dagangannya dengan berhutang tak jua melunasinya sementara modal yang dimilikinya sangat terbatas. Tetapi, pancaran wajah orang-orang yang menunggunya, yang sangat merindukan siraman rohani, laksana setetes embun di padang gersang.
Hal itulah yang selalu membuat kakinya ringan untuk menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melewati hutan belantara, kerikil tajam di jalan-jalan rusak, hujan, dan aneka halangan lainnya. Keyakinan akan kebesaran Allah-lah yang selalu dibisikkannya manakala hatinya mulai terjangkiti rasa malas. Barangkali, keyakinan itu pulalah yang membuatnya selalu bisa tepat waktu mengirim uang untuk dua buah hatinya yang tengah berjihad di pondok pesantren. Pergaulannya dengan banyak kala menjajakan barang dagangan membuatnya mudah dikenal. Salah satu wilayah pelosok yang dirambahnya adalah Dukuh Karanggondang Desa Sukoharjo Kecamatan Kandangserang.
Di dukuh tersebut, kembali Ustad Mikhlan diminta oleh masyarakat untuk mengajarkan Fiqih. Karena tak ada gedung yang memadai, ia menjalani aktivitasnya di gedung SD yang mulai rusak, selama 2 tahun, dengan imbalan seikhlasnya. Berawal dari pemberian tanah wakaf dari salah seorang warga, ia pun mengajak masyarakat untuk merintis gedung Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA). Dengan perjuangan tak kenal lelah, akhirnya, di Dukuh tersebut berdirilah gedung MDA dengan 3 ruangan. Sampai kini, Ustad Mikhlan menjadi pengajar tetap di MDA tersebut tiap hari pasaran Kliwon dan Legi bakda Asyar.
Pembangunan fisik yang digelorakan Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan pun merambah kawasan tersebut. Jalan desa yang dulu berbatu kini telah diaspal. Perjalanan empat jam dengan berjalan kaki kini ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dengan armada khas pedesaan: tukang ojeg. Dengan tarif sekitar Rp 25.000,- sekali jalan untuk harga langganan (harga normal Rp 30.000 - Rp 40.000), sesungguhnya terasa lebih berat. Tetapi, bagi Ustad Mikhlan, lebih cepat sampai tujuan. Berarti, lebih cepat pulalah ia dapat segera bertemu dengan orang-orang yang setia menunggunya untuk berbagi ilmu agama.
Kini, hampir semua kawasan pegunungan di wilayah tersebut telah dirambahnya. Berangkat pada hari pasaran Kliwon sekitar jam 14.00 WIB, sampai di tujuan sekitar pukul 15.00 WIB. Setelah salat dan istirahat, pada sekitar pukul 16.00 WIB, dimulailah aktivitas mengajarnya, sembari menjajakan dagangannya berupa baju, sarung, kerudung, kitab-kitab barzanji, juz amma, dan sesekali menerima pesanan kitab-kitab kuning. Wilayah Garung Kidul, Garung Kulon, Sigugur Jurang, dan Gununglangu adalah daerah-daerah jelajahannya. 3 hari kemudian, pada hari Pasaran Pahing, sekitar pukul 12.00 WIB, Ustad Mikhlan telah sampai di kediamnnya, untuk berkumpul kembali dengan keluarga tercinta. Juga dengan santri-santri Pondok Pesantren Kyai Wali Tanduran.
Catatan:
- Biografi tersebut disusun dari wawancara langsung dengan Pak Ustad Mikhlan untuk disertakan pada Lomba Menulis Kisah Inspirasi “Emak Ingin Naik Haji” berhadiah Umrah ke Tanah Suci untuk 5 Orang yang diselenggarakan oleh Mizan Productions & Smaradhana Pro bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena, Lingkar Pena Publishing House, dan AsmaNadia Publishing House pada Bulan Oktober 2009. Sayangnya, Pak Ustad Mikhlan belum beruntung menjadi pemenang lomba tersebut.
- Didedikasikan untuk Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2011. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan motivasi berharga dari Beliau, seorang guru sejati.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar