Awalnya adalah pelajaran PAI kelas VI, Kamis, 11 Agustus 2011 yang lalu. Seperti biasa, pada Bulan ramadhan ini saya selalu mengawali pelajaran dengan menyampaikan materi seputar puasa Ramadhan. Kebetulan mengulas hal-hal yang membatalkan puasa. Tibalah gilirannya membahas haid sebagai hadas besar yang menghalangi kaum perempuan untuk menjalankan puasa.
Beberapa kali membahas haid, saya selalu menemukan fakta menarik. Di awal pembahasan, kala mereka kelas V, siswa laki-laki hampir kompak melagukan koor: hiiiiiiiiiiiiiiiii. Siswa perempuan makin tersudut dan mereka makin malu kala saya bertanya siapa saja yang sudah haid. Sembari tersenyum, saya merasa menemukan momen yang tepat untuk mengajarkan mereka agar memandang masalah haid secara proporsional, dengan tidak mengesampingkan fakta bahwa sudut pandang haid sebagai hal yang “menjijikan” tak lepas dari pengaruh latar belakang sosial dan geografis Tanggeran sebagai wilayah pedesaan yang agak terpencil sehingga tema-tema sejenis itu termasuk kategori saru alias kurang sopan untuk dibahas.
Berdasarkan pengamatan dan riset kecil-kecilan, banyak kaum perempuan yang mengalami kesulitan beradaptasi kala haid pertama. Saya banyak belajar dari istri saya tentang haid beserta sudut pandang perempuan. Rasa pertama yang hinggap kala mendapatkan haid pertama adalah bingung dan resah. Saya merasa mendapatkan pembenaran tentang hal itu kala saya memutar memori ke masa lalu saat duduk di bangku MTs YMI Paninggaran, sekarang bernama MTs Salafiyah Paninggaran.
Suatu hari, teman perempuan sekelas saya, tak mau keluar kelas kala istirahat. Ia, yang kini berputra tiga, tak beranjak dari tempat duduknya sampai bel pulang berbunyi. Ketika pulang, tas sekolah ia tutupkan di belakang rok panjang yang tampak basah di bagian pantat. Di bangku panjang, terlihat bekas cairan melebar. Di kemudian hari, beberapa lama kemudian, barulah saya tahu kalau peristiwa yang menggemparkan kelas itu adalah haid pertama.
Dari pembicaraan saya dengan beberapa teman remaja putri, ada kesamaan yang saya peroleh tentang perasaan mereka kala mendapatkan haid pertama. Upaya mereka untuk memperoleh informasi tentang “peristiwa pertama” itu kerapkali menemui jalan buntu. Untuk bertanya dengan orang lain, mereka terbelenggu malu. Kala bertanya kepada kakak atau anggota keluarga yang lain, terkadang jawaban yang diberikan belum cukup mampu mengobati aneka kebingungan dan keresahan mereka. Ketika pertanyaan coba diajukan kepada sang ibu, seringkali jawabannya seragam: “ndak apa-apa, nduk. Itu wajar, normal, dan sudah takdir. Ibu juga dulu mengalaminya”.
Kala saya membayangkan sebagai remaja perempuan itu, jawaban-jawaban yang saya peroleh sepertinya belum cukup mampu mengobati aneka penasaran. Hal yang hampir sama juga kerapkali terjadi manakala remaja putra mengalami mimpi basah perdana.
Konsep Taharah
Islam menjunjung tinggi taharah, yang terjemahan bebasnya adalah kebersihan. Sayangnya, konsep mulia itu terkadang mengalami kesulitan penerjemahan kala berhadapan dengan dunia nyata, khususnya dunia pedesaan yang akrab dengan risih dan pekewuh, khususnya dalam hal haid. Hal itu kemudian diperparah dengan pemahaman sempit soal gender.
Dalam pandangan saya, momen haid pertama adalah momen istimewa yang sangat tepat untuk menjelaskan konsep Islam yang sangat aktual sekaligus faktual. Dari sisi remaja yang lebih mudah memahami penjelasan logis, haid bisa dijelaskan dengan sangat ilmiah. Penjelasan selanjutnya yang menurut saya tidak kalah penting adalah konsekuensi logis dari haid. Pertama, mandi janabah atau mandi besar kala telah selesai. Kedua, dunia baru telah menjelang. Haid, menurut saya, adalah “upacara” penobatan seorang muslimah sehingga ia telah siap menjalani aneka tuntutan dan tuntunan agama secara utuh dan bertanggung jawab.
Di sisi lain, periode puber selanjutnya telah menanti. Ia mesti memperoleh pemahaman yang memadai tentang etika pergaulan pada fase itu. saya memilih untuk memulai menyampaikan sex education di titik ini, dengan konsep, bahasa, dan cara penyampaian yang sesuai dengan usia dan perkembangan psikis mereka.
Nyaris tak terasa, saya merasa kehabisan waktu untuk menyampaikan tema itu. Tiga jam pelajaran terasa sangat kurang, meski didukung oleh peralatan multimedia. Semangat yang terpancar dari hampir semua siswa di kelas itu membuat saya mengabaikan kerontangnya tenggorokan. Tawa yang sesekali pecah, meski raut muka malu-malu tetap mendominasi, hampir melupakan saya bahwa batas jam pelajaran telah saya lalui.
Pelajaran di hari kesebelas Ramadhan pun berakhir. Saya rasakan lelah yang luar biasa, disamping dahaga yang makin menjadi. Tetapi, hari itu, saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Belum banyak yang bisa saya berikan. Namun, sorot mata murid-murid kala bersama membaca doa akhir pelajaran seakan memberitahu saya kalau mereka bergembira memperoleh informasi baru dan menikmati pelajaran hari itu.
Bagi seorang guru, bukankah itu sebuah kebahagiaan yang teramat nyata?
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar