Digugu lan ditiru, itulah label yang dilekatkan padanya. Sosok yang digambarkan selalu mengajarkan norma dan nilai kebaikan serta menjadi penjaga gawang dalam pendidikan murid-muridnya. Juga wakil dari orang tua di sekolah. Kepadanyalah dititipkan harapan, diamanatkan segudang impian, dan tentu saja, disematkan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Maka, manakala ia melakukan hal-hal di luar kewajaran dan kemudian publik bereaksi (seakan) berlebihan, menurut penulis, hal tersebut sangatlah wajar.
Memang, mesti diakui, ada hal-hal yang belum tercipta sesuai harapan. Ada kondisi-kondisi ideal yang belum terwujud sesuai impian. Tetapi, juga mesti diakui, perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik telah dan masih terus diupayakan, khususnya oleh pemerintah (dan pemerintah daerah) yang paling berkepentingan terhadap kualitas guru sebagai bagian integral dari kualitas pendidikan secara umum.
Maka, marilah coba kita tempatkan persoalan tersebut secara proporsional. Beberapa kasus kenakalan guru yang terekspos media massa adalah insidental, yang tidak serta merta bisa digeneralisasi bahwa semua guru juga berperilaku dan melakukan hal yang sama. Bukankah media massa juga kerapkali mengekspos tentang pencapaian prestasi akademik guru, baik kolektif maupun individu, yang berhasil mengantarkan anak didiknya mencapai prestasi cemerlang di tingkat nasional, bahkan internasional?
Signal inilah yang mesti ditangkap bukan hanya sebagai sebuah peringatan, tetapi juga pelajaran yang sangat berharga.
Dengan segala kekurangannya, harus tetap disadari bahwa guru adalah public figure dimana segala tingkah laku dan tindak-tanduknya akan senantiasa menjadi sorotan masyarakat. Maka, reaksi dan respon masyarakat akan sangat berbeda manakala media massa menampilkan berita tentang karyawan, pegawai, atau jenis profesi lainnya yang tertangkap basah di hotel dengan pasangan bukan suami/istrinya, dan pada saat yang bersamaan juga mendapati guru di lokasi yang sama dengan kondisi serupa.
Dan bersiaplah mendengar atau membaca komentar pedas dan sangat reaktif dari masyarakat manakala guru yang diharapkan menjadi orang tua sekaligus sahabat murid di sekolah kemudian menjelma menjadi sosok-sosok angker nan mengerikan yang menebarkan teror dan ketakutan dengan hukuman-hukuman fisik di luar batas kewajaran, atau bahkan menampilkan perilaku amoral dan asusila.
Sebagai manusia biasa, guru pun memiliki peluang yang sama untuk melakukan kesalahan dan kekeliruan. Tetapi, memanusiakan guru dan memanusiawikan kesalahan-kesalahan yang guru lakukan tersebut pada dasarnya semakin memperjelas posisi guru sebagai mahluk sosial yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan hidup normatif dan bukannya menyetujui, apalagi membenarkan dan mengamini tindakan-tindakan keliru tersebut.
Karena, pada profesi mulia itulah melekat label digugu lan ditiru, dan bukan wagu lan saru. Dan yang paling penting, pertanggungjawaban tertinggi bukanlah kepada atasan, bukan juga kepada komite sekolah, atau bahkan kepada media massa. Tetapi, kepada Sang Maha Guru: Allah SWT.
Dipublikasikan di LPMP Jawa Tengah
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar