Lebih lanjut Ibu Taty menyampaikan bahwa karya ilmiah saya berhasil masuk dalam tahap kedua, sehingga saya diundang hadir untuk wawancara dan presentasi pada hari Selasa, 15 Desember 2009 di Hotel Mercure Pantai Indah Ancol Jakarta dengan membawa Surat Tugas dari Kandepag Kabupaten/Kota, tiga bendel copy-an makalah, bahan presentasi dalam bentuk power point, serta menyerahkan seluruh tiket perjalanan yang kelak akan diganti oleh panitia.
Sukar dilukiskan kebahagiaan saya kala itu. Esok harinya, Selasa, 8 Desember 2009, setelah panitia kembali menelepon via telepon kantor dan meminta nomor faksimili yang kemudian diberi nomor fax milik BRI Unit Paninggaran (karena SD belum memiliki), surat via fax bertuliskan FROM: DITPAIS dan menunjukkan waktu 10:33 PM saya terima. Siang harinya, sebelum Dzuhur, petugas pos mengantarkan sebuah surat dari Direktorat Pendidikan Agama pada Sekolah Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama. Surat bernomor DT.I.II/Kp.02.3/1110/09 dan bertanggal 3 Desember 2009 yang ditandatangani oleh Direktur Pendidikan Agama pada Sekolah, Dr. H. Imam Tholkhah, MA., semakin mempertegas informasi yang disampaikan lewat telepon sebelumnya.
Asumsi: Ironisme Kompetensi
Awalnya, saya sempat ragu untuk mengikuti lomba itu. Saat membaca pengumuman di situs www.depag.go.id, judul Pemilihan Guru Pendidikan Agama Islam Berprestasi dalam Penelitian Tindakan Kelas (Class Room Action Research) Tahun 2009 beberapa saat membuat saya merenung. Bukan karena saya tidak punya bahan untuk lomba tersebut karena kebetulan saya pernah melakukan penelitian tindakan kelas pada tahun 2008. Tetapi, label tingkat nasional-lah yang sempat menciutkan nyali saya. Saya memang pernah mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah bagi Guru PAI di Sekolah Umum Tingkat Nasional Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Departemen Agama.
Tetapi, kala itu saya tak pernah mengetahui nasib karya tulis yang saya kirimkan. Barulah pada beberapa waktu kemudian, tepatnya pada November 2008, selembar sertifikat datang ke SD saya via pos. Sertifikat yang membuktikan partisipasi saya sebagai peserta tersebut ditandatangani oleh Kepala Balitbang, Drs. H. Imran Siregar.
Tetapi, setelah mempelajari Panduan Pelaksanaan yang saya download dari situs Depag pada tanggal 3 Oktober 2009, saya mulai menemukan kembali semangat untuk berkompetisi. Meski penuh dengan bahasa teknis, panduan dalam format PDF dengan besaran file 354 kb tersebut berhasil menggiring saya untuk membulatkan tekad mengikuti lomba tersebut dan mengirimkan karya tulis di akhir minggu keempat Oktober 2009, tepat pada akhir batas pengiriman.
Sesungguhnya, ada faktor lain yang membakar motivasi saya untuk mengikuti lomba tersebut, yaitu asumsi. Ya, asumsi. Asumsi yang barangkali agak naif sekaligus ironis tapi menurut saya, sangat manusiawi. Dari 27 SD negeri se-kecamatan, hanya beberapa orang GPAI yang bisa mengoperasikan komputer dan lebih sedikit lagi yang berminat pada dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk internet. Menurut saya, minat adalah modal dasar sementara bisa adalah konsekuensi logis dari minat yang ditindaklanjuti dengan belajar dan latihan. Dan minat itulah yang kerapkali tidak saya temukan dalam forum KKG manakala pembahasan program dan penelusuran sumber belajar mesti berhadapan dengan internet.
Hal yang kurang lebih sama saya temukan dalam lingkup yang lebih besar: kabupaten. Setelah mengikuti Pelatihan dan Silaturrahmi Guru PAI SD Tingkat Propinsi Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh KKG PAI Propinsi Jawa Tengah di Asrama Haji Donohudan Boyolali pada tanggal 19-21 Agustus 2006 silam, beberapa bulan kemudian saya diberi kepercayaan untuk menjadi anggota tim sosialisasi KTSP PAI Tingkat Kabupaten Pekalongan. Sebagai anggota tim yang didominasi oleh GPAI yang mengikuti pelatihan di Donohudan tersebut, saya berkesempatan bertemu dengan GPAI di beberapa kecamatan. Mohon maaf kalau pada akhirnya saya juga menarik kesimpulan yang sama. Tentu dengan tidak mengabaikan pencapaian prestasi GPAI yang luput dari pengamatan saya karena tempat tugas dan domisili saya berada di ujung selatan pegunungan Kabupaten Pekalongan, yang jauh dari hingar bingar dan akurasi informasi.
Faktor-faktor itulah, yang kemudian diperkuat dengan frekuensi komunikasi yang lebih intens dalam acara KKG Kabupaten, Lomba Mata Pelajaran dan Seni Islami (MAPSI), maupun dalam kegiatan sejenis lainnya, yang makin meneguhkan saya untuk berasumsi sederhana: dengan sedikitnya GPAI yang berminat terhadap TIK, termasuk internet, logika saya, sedikit juga GPAI yang mengakses informasi lomba lewat situs www.depag.go.id tersebut. Agak naif memang. Tetapi, sangat manusiawi ’kan kalau pada akhirnya saya merasa peluang saya untuk memenangkan lomba tersebut semakin besar, meski hanya untuk sekadar meningkatkan motivasi?
Dan alhamdulillah, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa saya. Bersama dengan empat peserta lainnya dari berbagai propinsi, dua dari Jawa Barat serta seorang Ibu Guru dari Surakarta untuk kelompok SD, serta masing-masing 8 peserta untuk kelompok SMP dan SMK, kami berkompetisi untuk memperebutkan trophy, piagam penghargaan, laptop, serta uang tunai senilai total Rp 200 juta. Presentasi di depan Dewan Juri yang dipimpin langsung oleh Direktur Pendidikan Agama pada Sekolah, Bp. Dr. H. Imam Tholkhah, MA., berupaya menjawab aneka pertanyaan tajam dan kritis dari seorang profesor dari sebuah universitas terkemuka di Jakarta, serta beradu argumen dengan seorang pengurus Asosiasi Guru PAI (AGPAI) Pusat, benar-benar sebuah perjuangan yang mendebarkan sekaligus memacu adrenalin.
Selebihnya, saya benar-benar menikmati aneka fasilitas mewah dengan pelayanan prima di hotel berbintang yang terletak di objek wisata Ancol tersebut. Satu kamar dengan seorang peserta dari Kuningan, Jawa Barat, ternyata kami sama-sama menjadi orang kaya baru alias OKB. Meski sebelumnya saya telah mendapat aneka referensi dari teman-teman, ternyata saya juga mengalami aneka kejadian yang pada saat diceritakan dulu pun saya turut tertawa. Mulai dari kesulitan membuka pintu hotel dengan kartu, menyalakan lampu kamar dengan kartu yang sama, sampai menikmati berendam air panas di bak mandi tapi tak juga menemukan tombol untuk menguras airnya. Sampai jauh malam kami masih menertawakan diri sendiri atas kekonyolan demi kekonyolan yang kami lakukan.
Saya tidak tahu pasti harga kamar yang kami tempati. Yang pasti, dari brosur yang ada di kamar, kelas Superior merupakan kelas termurah dengan harga Rp 690.000,- pada hari Senin-Kamis dan menjadi Rp 825.000,- pada Jum’at, Sabtu, dan hari libur sedangkan Presidental Suite harganya selangit: Rp 7.500.000,- pada hari biasa dan pada hari libur menjadi Rp 8.200.000,-., Dengan jendela menghadap langsung ke Pantai Ancol, free hotspot, dan makan malam senilai Rp 185.000,- yang merupakan harga makanan termahal yang pernah saya santap, gaji saya sebulan mungkin hanya cukup untuk menginap sehari semalam saja.
Sayangnya, jadwal kegiatan yang sangat padat tidak memberikan waktu yang memadai bagi peserta untuk bersosialisasi dengan para kompetitornya. Sampai acara penutupan, saya tidak sempat mencatat nama peserta dari Surakarta, yang menurut sms teman peserta dari Jawa Barat yang berhasil meraih peringkat 3, Beliau mampu menyabet peringkat pertama. Buat Ibu Guru dari Surakarta, selamat dan sukses untuk Anda. Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikannya langsung karena permintaan data peserta dan hasil akhir lomba yang saya sampaikan kepada panitia via e-mail, sampai tulisan ini saya kirimkan ke Redaksi Rindang belum juga mendapat balasan sehingga saya tidak memiliki data pribadi Ibu.
Fastabiqul Khairat
Kalaupun dari awal tulisan ini saya senantiasa memberi penekanan pada minimnya minat GPAI terhadap teknologi internet, sama sekali saya tidak bermaksud merendahkan, apalagi mengerdilkan pencapaian prestasi GPAI yang telah ada. Sama sekali tidak. Saya juga menyadari bahwa hal tersebut tidak berdiri sendiri dan memiliki keterkaitan dengan banyak hal. Tetapi, dari sudut pandang yang berbeda, faktor itulah yang turut menyumbang andil besar dan memotivasi saya untuk mengikuti lomba tersebut. Artinya, pada saat saya melihat peluang, saat yang sama saya juga merasakan sebentuk keprihatinan, seperti yang juga disampaikan Kasubdit Ketenagaan Ditpais Depag RI, Bp. Chaerul Akmal, SE. MM., kala menutup lomba. Menurut beliau, dari sekitar 170.000-an guru PAI di sekolah umum se-Indonesia, hanya sekitar 200-an naskah lomba yang masuk ke meja panitia.
Di tengah laju pesatnya globalisasi serta dinamisnya perkembangan teknologi; efek negatif internet, seperti pornografi, penyalahgunaan facebook, dan aneka kejahatan dunia maya lainnya, menurut saya, tak semestinya menjadi penghalang bagi kita untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sisi positif internet sebagai sumber informasi dan sumber belajar yang melampaui sekat geografis, ruang dan waktu yang terjaga 24 jam. Apalagi manakala tuntutan profesionalisme guru, sebagaimana dimanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
Dalam tataran praktis, kompetensi itulah yang dikehendaki oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, pada tabel 3 Standar Kompetensi Guru Mata Pelajaran di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, dimana disebutkan dalam Kompetensi Pedagogik poin 5, Kompetensi Inti Guru adalah Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; sedangkan dalam Kompetensi Profesional poin 24, Kompetensi Inti Guru adalah Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri (www.depdiknas.go.id).
Meski pada akhirnya hanya masuk delapan besar sebagai finalis dan gagal membawa pulang laptop yang telah lama saya impikan, dua hari di Jakarta bersama kandidat guru PAI terbaik se-Indonesia dalam nuansa kompetisi yang ekstraketat merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Kalaupun kelak guru-guru PAI Kabupaten Pekalongan khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya nanti telah begitu familiar dengan internet sehingga peserta lomba di tahun-tahun mendatang jumlahnya akan melonjak drastis, Insya Allah tidak akan membuat saya berkecil hati hanya karena banyaknya peserta. Bukankah salah satu ajaran agama adalah agar kita gemar ber-fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan?
&&&&&
Catatan: artikel ini dikirimkan ke Redaksi Rindang Semarang via e-mail pada 24/02/2010. Artikel ini saya tulis setelah berada di tempat kerja baru, dimana sebelumnya saya mengajar di SD Negeri 01 Paninggaran Kec. Paninggaran Kab. Pekalongan
Dipublikasikan di Blognya SD Negeri Tanggeran pada 27 Mei 2010
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar